HARTA, AKAD, LARANGAN TRANSAKSI
A.
MANAJEMEN
HARTA DALAM ISLAM
Manusia hidup
dibumi mempunyai banyak kebutuhan. Manusia bekerja dengan sekuat tenaga untuk
mendapatkan sesuatu yang dirasa menjadi kebutuhannya. Tidak jarang, manusia
harus bersaing, berkompetisi, dan berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya
untuk mendapatkan sesuatu itu. Sesuatu itu adalah harta. Dengan harta manusia
akan dapat memenuhi segala kebutuhannya.[1]
Kadang-kadang harta menjadi suatu kebanggaan apabila manusia memiliki banyak
harta meskipun masih belum terasa keperluannya untuk memenuhi kebutuhan pasa
suatu waktu tertentu.[2]
Nilai moral
yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di
tangan orang-orang shaleh, berarti dengan pengelolaan kekayaan/harta (wealth
management). Pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan
pelaku atau pemilik harta.nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan
definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang
paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan pengelolaan kekayaan/harta,
kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau mengoptimalkan
kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin
bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaan yang mampu memberikan manfaat bagi
lingkungannya. Artinya, harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang
lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.[3]
Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam
mengelolah hartanya berdasarkan syariah islam akan berorientasi utama pada dua
hal, yaitu:
1.
Pemanfaatan
harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya,
sebagai manusia.
2.
Pemanfaatan
harta harta tersebut bagi manusia diluar keluarga atau pemanfaatan yang
bermotif pada amal shalel sebagai alat dalam rangka mendapatkan kemuliaan dari
Tuhan.
Contoh dari
kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, sahabat dan
para wali. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya
mereka ikhlasnya untuk manusia lain, untuk umat, dan untuk Tuhan. Seorang
diantara mereka pernah berkata: [4]
”Manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti
pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”
Islam sangat
mengajukan kepada manusia untuk bertebaran dimuka bumi ini untuk mencari
karunia Allah (rizki) dengan cara bekerja.[5]
Harta tidak hanya terbatas pada aspek materi saja tetapi juga mencakup aspek
manfaat. Harta dalam tinjauan manfaat ini dapat dipahami bahwa apabila
seseorang hanya mengambil manfaat atau kegunaan dari suatu benda.[6]
1.
Unsur-unsur
yang dimiliki oleh harta, yaitu:
a.
Bersifat
materi atau mempunyai wujud nyata.
b.
Dapat
disimpan untuk dimiliki.
c.
Dapat
dimanfaatkan.
d.
Kebiasaan
masyarakat memandangnya sebagai harta.
2.
Fungsi
harta
Harta
dipelihara manusia karena dia membutuhkan manfaat tersebut, harta memiliki
fingsi yang banyak baik kegunaan dalam hal baik, maupun dalam hal jelek. Ketika
harta itu diarahkan kepada sektor yang benar dan sesuai dengan etika agama,
maka dapat diklasifikasikan empat fungsi dan pembelanjaan harta, yaitu:[7]
a.
Fungsi
material
Fungsi pembelanjaan harta yang bersifat material adalah fungsi yang
duikembalikan kepada harta itu sendiri. Dalam proses pencarian harta bisa jadi
terdapat hal-hal yang secara tidak sengaja manusia melakukan sesuatu yang
melanggar etika agama sehingga harta itu menjadi “kotor” secara hakikat.
b.
Fungsi
individual
Harta yang dibelanjakan kejalan yang benar dapat memberikan nilai
positif bagi pemiliknya.
c.
Fungsi
ritual
Fugsi ritual berarti berarti sedekah harta itu tidak saja
meningkatkan nilai ritual bagi pelakunya dengan memberikan banyak pahala,
membekali investasi untuk kehidupan di akherat dan memberikan jaminan terhindar
dari api neraka.
d.
Fungsi
sosial
Fungsi sosial adalah fungsi yang memanfaatkan dialamatkan kepada
kehidupan manusia sendiri (masyarakat) di dunia. Pembelanjaan harta untuk
orang-orang yang fakir dan miskin adalah sikap yang sangat mulia. Sikap itu
dapat membantu dan memotivasi kaum yang kesulitan ekonomi untuk dapat
mensejakterakan tercipta secara merata.
B.
PEDOMAN
MANAJEMEN HARTA DALAM SYAR’I
Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan kekayaan secara
islam. Pedomannya dapat dilihat dari aspek:
1.
Mencari
harta
Kecintaan manusia terhadap harta tersebut memang dibenarkan oleh
Islam. Hanya saja dalam kaitannya harta tersebut, Islam bemberikan nilai
kesadaran yang mendasar yang bersifat sangat maslahat bagi kepentingan manusia secara
keseluruhan yang dibangun atas paradigma pemahaman bahwa harta itu sejatinya
milik Tuhan.[8]
Dalam banyak ayat al-Qur’an menyatakan pelarangan bagi manusia untuk mencari
harta dengan cara yang bathil[9],
menganjurkan agar mengkonsumsi makan yang halal dan yang baik, berusaha dengan
cara jual beli bukan riba[10].
Harta yang kita peroleh juga harus yang baik bukan yang haram.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mencari harta dalam pandangan
islam adalah:[11]
a.
Niat,
cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujuan untuk Allah (halal
dan Thayib).
b.
Mendukung
ibadah dan amal shaleh bukan menghambat ibadah dan amal shaleh.
c.
Mempertimbangakan
optimalisasi kntribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi dahkwah, masyarakat,
dan keluarga.
2.
Membelanjakan
harta
Adapun hal yang perlu dalam membelanjakan harta dalam pandangan
islam, adalah:
a.
Mempertimbangkan
kebutuhan dasar.
b.
Mempertimbangkan
kemanfaatan atau optimalisasi amal shalel: kepentingan dakwah dan masyarakat.
c.
Mempertimbangkan
kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak.
3.
Menyisihkan
harta
Manajemen harta adalah mengatur harta untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang. Oleh karena itu, dua aktifitas ini adalah cara-cara yang
digunakan dalam memenejemen harta, yaitu:
a.
Menabung
1.
Kebutuhan
(bukan keinginan) dimasa depan.
2.
Kebutuhan
sekarang yang mendesak.
3.
Tidak
bermotif menumpuk harta.
b.
Invrstasi/usaha
1.
Niat,
cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk
Allah SWT.
2.
Mempertimbangkan
kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang memaksimalkan bagi manusia lain:
lingkungan keluarga dan masyarakat.
3.
Mendukung
kesejahteraan (kemandirian ekonomi umat) dan dakwah.
Aktivitas
pengelolahan harta juga harus didasari oleh prinsip keyakinan bahwa setiap
jarta yang dibelanjakan dijalan Allah akan dilipatgandakan balasanya, baik
berupa pahala maupun balasan harta materil. Keyakinan ini pula yang nantinya
pada pembahasan pengelola kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi
nilainya, menjadi sangat penting. Karena salah satu cara melindungi nilai
kekayaan dalam islam adalah menginfakkannya dijalan Allah. Itulah logika
ekonomi islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya.
C.
AKAD
DALAM KEUANGAN SYARI’AH
Gambaran hukum
dalam islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah adalah tercangkup dalam
bentuk kontrak (akad) dan bentuk instrument keuangan. Akad adalah ikatan
kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti didalam aqad
masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing
yang telah disepakati terlebih dahulu. Akad telah disepakati secara rinci dan
spesifik tentang waktu dan kondisinya. Dengan demikian, bila salah satu atau
kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya,
maka salah satu atau kedua tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam
akad.
Didalam fiqh muamalah, pembahasan akad berdasarkan segi ada atau
tidak adanya kompensasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:[12]
1.
Aqad
tabarru’
Aqad tabarru’
adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba atau transaksi
yang tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru’ adalah
untuk aktivitas tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam aqad
tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan
imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah
dari Allah WST, bukan dari manusia. Aktifitas yang tergolong dalam aqad
tabarru’.
a.
Meminjamkan
uang
Aktivitas
meminjamkan uang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.
Meminjamkan
harta atau pinjaman (qard).
2.
Meminjamkan
harta dengan diberikan agunan oleh si peminjam atau gadai (rahn).
3.
Meminjamkan
harta untuk mengambil alih pinjaman dari pihak lain disebut pengalihan hutang (hiwalah).
b.
Meminjamkan
jasa
Aktifitas
meminjamkan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.
Meminjamkan
jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain disebitu wakalah.
2.
Memberikan
jasa untuk memelihara uang atau barang disebut wadi’ah.
3.
Memberikan
jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu disebut kafalah.
c.
Memberikan
sesuatu
Aktivitas
memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara
hibah, shadaqah, infak, waqaf, dan hadiah.
Jadi, Fungsi aqad tabarru’ adalah untuk mencari keuntungan
akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan
untuk tujuan-tujuan komersil. Bila tujuannya adalah mendapatkan laba,
gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yaitu tijarah.
2.
Aqad
tijarah
Aqad tijarah
adalah segala macam perjanjian yang menyangkut keuntungan. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, hasil atau keuntungan
kadang dapat dipastikan kadang tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu,
berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a.
Natural
Certainty Contracts (NCC)
Natural Certainty Contracts atau kontrak yang memberikan hasil pasti adalah kontrak yang
dilakukan oleh kedua pihak untuk saling mempertukarkan asset yang dimilikinya,
karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus ditetapkan
diawal akad dengan pasti, baik jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu
penyerahannya. Jadi kontrak-kontrak ini secara sunnatullah menawarkan
keuntungan yang tetap dan pasti. Jenis kontrak ini adalah kontrak jual beli (Al-Ba’I,
Salam, dan Istishna’) , upah-mengupah, sewa-menyewa (Ijarah).
Dalam akad-akad diatas, pihak-pihak yang bertransaksi saling
mempertukarkan asetnya. Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri,
sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada pencampuran
asset.
b.
Natural
Uncertainty Contract (NUC)
Natural Uncertainty Contract atau kontrak yang tidak memberian hasil pasti, adalah kontrak yang
terjadi jika pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi
satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama untuk mendapatkan
keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama, yang termasuk
didalam kontrak ini adalah
1. Musyarakah
terdiri atas wujuh, ‘inah, abdan, mufawadhah, mudharabah.
2. Mizara’ah.
3. Musaqah
4. Muqhabarah.
D.
TRANSAKSI
YANG DILARANG DALAM SYARIAH
Dalam
ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang
ada ketentuannya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.
1. Syari’ah
dan keuangan
Rasulullah secara
tegas menyatakan dalam sabdanya, bahwa perdagangan (bisnis, berusaha) adalah
suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Namun harus dipahami,
bahwa praktik-praktik bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut
ajaran memberikan kategori usaha yang diperbolehkan (halal) dan usaha yang
dilarang (haram).
Umat islam
perlu mengembangkan dan menjalankan aktivitas ekonomi, keuangan, dan perbankan
berbasis syariah. System ekonomi, keuangan dan perbankan berbasis bunga atau
konvensional mengandung beberapa kelemahan, yaitu:[13]
a.
Transaksi
berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
Dalam bisnis, bagi hasil dari setiap perusahaan selalu tidah pasti,
peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui
walaupun perusahaannya mungkin rugi.. meskipun perusahaan untung, bisa jadi
bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan
dengan norma keadilan dalam islam.
b.
Tidak
fleksibelnya system transaksi bunga menyebabkan kebangkrutan.
Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara
keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian besar orang. Lebih dari itu,
beban utang makin menyulitkan upaya pemulihan ekonomi dan penderitaan seluruh
masyarakat.
c.
Komitmen
bank untuk menjaga keamanan yang deposan beserta bunganya membuat bank cemas
untuk mengembalikan pokok dan bunganya.
Oleh karena itu, demi keamanan, mereka hanya mau menjaminkan dana
bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup
menjamin keamanan pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat
berharga. Jadi semakin banyak pinjaman yang hanya diberikan kepada usaha yang
sudah mapan dan sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan untuk
memulai usahanya. Hal ini menyebabkan tidah seimbangnya pendapatan dan
kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat islam.
d.
Sistem
transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba teknik dan produk
baru karena mereka punya xadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide
barunya itu tidak berhasil. Sebaliknya, usaha kecil tidah dapat mencoba ide
baru karena untuk mereka harus meminjam dana berbunga dari bank. Bila gagal,
tidak ada jalan lagi bagi mereka kecuali harus membayar kembali pinjaman
berikut unganya dan bangkrut. Hal ini terjadi terutama pada para petani, jadi
bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk keseimbangan
pendapatan.
e.
Dalam
system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada
jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.
Setiap rencana bisnis yang diajukan kepada merekaselalu diukur
dengan criteria. Jadi, bank bekerja dengan system ini tidak mempunyai insentif
untuk membantu suatu usaha yang beguna bagi masyarakat dan pekerja. Sistem ini
menyebabkan salah letak sumber daya dalam masyarakat islam.
Dari beberapa kelemahan sistem konvensional tersebut, maka
perbankan syariah diharapkan mendapat kebebasan dalam mengembangkan produknya
sendiri, sesuai dengan teori perbankan syariah . jika kebebasan ini dapat
diwujudkan maka secara ideal akan memberikan manfaat bagi:
a.
Terpeliharanya
aspek keadilan bagi para pihak yang bertransaksi.
b.
Lebih
menguntungkan disbanding perbankan konvensioanl.
c.
Dapat
memelihara kestabilan nilai tukar mata uang karena selalu terkait dengan
transaksi riil, bukan sebaliknya.
d.
Transparan
menjadi sifat yang melekat.
e.
Memperluas
aplikasi syariah dalam kehidupan masyarakat muslim.
2. Prinsip muamalah dalam islam
Suatu aktivitas
atau transaksi ekonomi atau non-ekonomi dilarang karena adanya penyebab sesuatu
itu dilarang. Penyebab suatu transaksi dilarang adalah karena faktir-faktor
sebagai berikut:[14]
a.
Haram
zatnya
Haram zatnya berarti zat barang yang ditransaksikan adalah haram.
Transaksi atas barang demikian ini dilarang karena objek (barang dan/atau jasa)
yang ditransaksikan juga dilarang misalnya minuman keras, bangkai, daging babi,
dan sebagainya. Jadi transaksi jual-beli minuman keras adalah haram, walaupun
akad juak-belinya sah.
b.
Haram
selain zatnya
Sesuatu dapat menjadi haram, bukan karena zatnya. Namun sesuatu itu
dapat dikategorikan menjadi barang haram jika cara mendapatkan sesuatu yang
diharamkan menurut syariah, diantaranya adalah karena caranya melanggar
prinsip-prinsip muamalah, misalnya penipua (tadlis), ketidakjelasan (gharar),
rekayasa pasar (ikhtikar).
c.
Tidak
sah
Suatu transaksi
yang tidak masuk dalam kategori haram, belum tentu sera merta menjadi halal.
Masih ada kemungkinan transaksinya tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi
itu tidak sah atau tidak lengkap, misalnya rukun syaratnya tidak terpenuhi.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
PENUTUP
1.
Harta
Islam sangat mengajukan kepada manusia untuk bertebaran dimuka bumi
ini untuk mencari karunia Allah (rizki) dengan cara bekerja. Harta tidak hanya
terbatas pada aspek materi saja tetapi juga mencakup aspek manfaat. Harta dalam
tinjauan manfaat ini dapat dipahami bahwa apabila seseorang hanya mengambil
manfaat atau kegunaan dari suatu benda. Unsur-unsur yang dimiliki oleh harta,
yaitu: Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata, dapat disimpan untuk
dimiliki, dapat dimanfaatkan, kebiasaan masyarakat memandangnya sebagai harta.
2.
Akad
Akad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini
berarti didalam aqad masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Akad telah
disepakati secara rinci dan spesifik tentang waktu dan kondisinya. Dengan
demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua tersebut menerima
sanksi yang sudah disepakati dalam akad.
3.
Transaksi
yang dilarang dalam syariah
Rasulullah secara tegas menyatakan dalam sabdanya, bahwa
perdagangan (bisnis, berusaha) adalah suatu lahan yang paling banyak
mendatangkan keberkahan. Namun harus dipahami, bahwa praktik-praktik bisnis
yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran memberikan kategori
usaha yang diperbolehkan (halal) dan usaha yang dilarang (haram).
[1]
Dede Nurohman, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.50.
[2]
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Seputar FIlsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 197.
[3]
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),
hlm. 110.
[4] Ibid.
[5]
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 11.
[6] Ibid.,
hlm 13.
[7] Ibid.,
Dede Nurohman, Ekonomi Islam, hlm.58-60.
[8] Ibid.,
Dede Nurohman, Ekonomi Islam, hlm.53-54.
[9]
Lihat al-Qur’an surat al-Nisa’ 29.
[10]
Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah 275.
[11] Ibid.,
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah,
hlm. 112.
[12] Ibid.,
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah , hlm. 114.
[13] Ibid.,
Muhamad, Manajemen Bank Syariah, Hlm. 118-119.
[14]
Adiwarmab A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:
Rajadwali Press, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar