INSTRUMEN
KEUANGAN SYARI’AH PRIMER, SEKUNDER DAN PENGEMBANGANNYA
A.Kontrak
Keuangan Syari’ah
Aktivitas ekonomi dalam
sistem ekonomi manapun dapat dilihat sebagai kontrak (akad) antara
pelaku-pelaku ekonomi. Instrumen keuangan juga merupakan akad, di mana syarat
dan kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut.
Konsep, isi dan aplikasi seluruh struktur inti Hukum Ilahi dalam Islam bersifat
kontraktual. Sebuah kontrak dianggap legal dan berkekuatan hukum oleh syari’ah
jika pasal kontrak tersebut bebas dari semua yang dilarang atau diharamkan.[1]
Sistem
ekonomi Islam memiliki serangkaian kontrak inti, yang berfungsi sebagai
landasan bagi pendesainan instrumen keuangan yang lebih rumit dan kompleks.
Tidak ada klasifikasi kontrak baku dalam sistem hukum Islam, akan tetapi dari
sudut pandangan bisnis dan komersial, seseorang dapat mengelompokkan kontrak
tertentu sesuai dengan fungsi dan tujuannya dalam ekonomi dan sistem keuangan.
Kontrak yang berhubungan dengan transaksi komersial dan bisnis dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu :[2]
1.
Kontrak
Transaksional
Kontrak transaksional
berhubungan dengan sektor transaksi ekonomi riil yang memfasilitasi pertukaran,
penjualan, dan perdagangan komoditas dan jasa. Inti kontrak transaksional
didasarkan pada aktivitas perdagangan atau pertukaran. Pertukaran dapat
berbasis on the spot atau berjangka (deffered) dan dapat berupa pertukaran komoditas
dengan komoditas, jual beli barang dengan harga tertentu, atau jual beli dengan
utang. Berbagai kontrak ini menciptakan aset, yang bisa menjadi basis peluang
pendanaan dan investasi. Karena itu pertukaran ini membentuk inti sistem
ekonomi dan keuangan yang lebih luas.
Islam sangat menganjurkan berdagang
dan memberikan prioritas kepada aktivitas perdagangan dibandingkan bentuk
bisnis lain. Perdagangan yang dimaksud bukan hanya memperdagangkan aset fisik
tetapi juga memperdagangkan hak untuk menggunakan aset fisik. Karena itu
kontrak dasarnya adalah kontrak pertukaran, penjualan aset atau penjualan hak
untuk menggunakan aset. Kontrak pertukaran dan penjualan menimbulkan pengalihan
kepemilikan, sedangkan kontrak penggunaan aset hanya mengalihkan hak untuk
menggunakan barang dari satu pihak ke pihak lain.[3]
2.
Kontrak
Pembiayaan
Kontrak pembiayaan (financing contract) menawarkan jalan
untuk menciptakan dan memperluas kredit, memfasilitasi pembiayaan kontrak
transaksional, dan memberikan saluran untuk pembentukan kapital dan mobilisasi
sumber daya antara investor dan pengusaha. Ciri utama kontrak pembiayaan adalah
tidak adanya kontrak utang. Kontrak pembiayaan dimaksudkan untuk pendanaan
kontrak transaksional dalam bentuk trade
finance (pembiayaan perdagangan) atau asset-backed
securities (sekuritas berbasis aset),
atau menyediakan modal melalui equity
partnership (kemitraan dalam modal) yang dapat diwujudkan dalam beberapa
bentuk seperti kemitraan, penyetaraan kepemilikan atau kemitraan lainnya.
Jika dilihat dari perspektif risiko
relatifnya, pada salah satu ujung kontinum risiko sistem tersebut menawarkan
sekuritas dengan aset risiko rendah, dan pada ujung kontinum satunya ia akan
mempromosikan pembiayaan ekuitas berisiko, seperti modal ventura dan ekuitas
privat. Di antara kedua ujung kontinum ini, ada sekuritas yang berasal dari
kontrak ijarah dan istishna yang dikaitkan dengan aset riil
yang dapat memuaskan kebutuhan investor yang mencari jatuh tempo pendek dan
menengah.[4]
3.
Kontrak
Intermediasi
Kontrak intermediasi
adalah kontrak yang memfasilitasi pelaksanaan kontrak transaksional dan finansial
yang efisien dan transparan. Kontrak ini memberikan kepada agen ekonomi
seperangkat alat untuk melaksanakan intermediasi keuangan sekaligus menawarkan
jasa profesional (fee based) untuk
aktifitas ekonomi. Kontrak intermediassi mencakup mudharabah (kontrak dengan perwalian), musyarakah (penyertaan modal), kafalah
(penjaminan), amanah (kepercayaan), takaful (asuransi), wakalah (agensi), jo’ala
(jasa profesional).
Dalam
kontrak mudharabah, agen ekonomi dengan modal (pemilik modal) dapat menjalin
kemitraan dengan agen akonomi lain yang memiliki keterampilan dengan perjanjian
bagi hasil. Walaupun kerugian ditanggung pemilik modal, mudharib dapat bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
perbuatan tidak pantas atau pengacuhan pada pihaknya.
Kontrak
mudharabah dan musyarakah merupakan hal penting dalam penciptaan kredit dan
modal, namun kontrak lain seperti wakalah, jo’ala, dan rahn memainkan peran
penting dalam memberikan jasa ekonomi penting yang bisa ditawarkan oleh
intermediator finansial konvensional.[5]
4.
Kontrak
Kesejahteraan Sosial
Kontrak
kesejahteraan sosial ialah kontrak antara individu dan masyarakat untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka yang kurang mampu.
Walaupun fasilitas kontrak kesejahteraan adalah di luar cakupan intermediasi,
namun intermediasi dapat menawarkan layanan masyarakat dengan menginstusionalisasikan
kontrak kesejahteraan sosial.
B. Instrumen Keuangan Syari’ah Primer
Berdasarkan
teori akad sebagaimana dijelaskan, dapat diformulasikan kontrak-kontrak
keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan.[6]
1. Mudharabah
Mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara shahibul maal
(pemilik dana) dan mudharib
(pengelola) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Jika usaha
mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali
ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana. Seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak
terikat) dan Mudharabah Muqayyah (investasi
terikat). Mudharabah Muthlaqaah
adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola
dana dalam mengelola investasinya.
Mudharabah Muqayyah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan
batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.[7]
2. Musyarakah
Musyarakah
adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modalnya untuk
tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah,
mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usah tertentu,
baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat
mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara
bertahap atau sekaligus kepada bank.[8]
Pembiayaan Musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau
aktiva non kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi dan hak paten.
Laba musyarakah dibagi di antara para
mitra dan bank secara proporsional sesuai dengan modal yang disetorkan (baik
kas maupun aktiva lainnya) atau sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh semua
mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai dengan modal yang
disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya).
Musyarakah
dapat bersifat musyarakah permanen maupun menurun. Dalam musyawarah permanen,
bagi modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir
masa akad. Sedangkan musyarakah menurun, bagian modal bank akan menurun dan
pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.
3.
Murabahah
Murabahah
adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
maupun pembeli. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa
pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang
setelah ada pemesanan dari nasabah.
Murabahah
berdasarkan pesanannya dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah
untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli
tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli
bank (sebagai penjual) dalam murabahah
pesanan mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli
maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual akan
mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan. Selain itu,
dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara
pembayarannya yang berbeda.
Bank
dapat memberikan potongan apabila nasabah:
a.
Mempercepat pembayaran
cicilan atau,
b.
Melunasi piutang
murabahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam
murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank
mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah.
Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan
tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat dalam akad.
Bank dapat meminta nasabah untuk
menyiapkan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang
telah dibeli dari bank. Bank dapat meminta urban kepada nasabah sebagai uang muka pembelian
pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.
Apabila
nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang
diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa
nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah yang mampu yang
menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah
lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai yang diperjanjikan
dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan).[9]
4.
Salam
dan Salam Paralel
Salam
adalah akad jual beli muslam fiih
(barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam alaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh
pembelian sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat
tertentu.
Rukun salam adalah sebagai berikut :[10]
a.
Ada si penjual dan si
pembeli
b.
Ada barang dan uang
c.
Ada sighat (lafaz akad)
Adapun syarat-syarat salam meliputi :[11]
a.
Uangnya hendaklah
dibayar di tempat akad.
b.
Barangnya menjadi utang
bagi si penjual.
c.
Barangnya dapat
diberikan sesuai dengan waku yang dijanjikan.
d.
Barang tersebut
hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan ataupun bilangannya.
e.
Disebutkan tempat
menerimanya.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli
atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual
kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara
salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan
syarat:[12]
a.
Akad kedua antara bank
dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir.
b.
Akad kedua dilakukan
setelah akad pertama sah.
5.
Istishna
dan Istishna Paralel
Istishna
adalah akad jual beli antara al-mustashni
(pembeli) dan as-shani (produsen yang
juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi
produsen untuk menyediakan al-mashnu
(barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya
dengan harga yang sudah disepakati. Cara pembayaran dapat dilakukan dengan
pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.[13]
Bank dapat
bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika bank bertindak sebagai
penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub-kontraktor) untuk menyediakan
barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna paralel. Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat:[14]
a.
Akad kedua antara bank
dan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama dari bank dan pembeli akhir.
b.
Akad kedua dilakukan
setelah akad pertama sah.
6.
Ijarah
dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik
Kata ijarah diderivasi dari bentuk
fi’il: ajara - ya’juru - ajran”. Ajran
semakna dengan kata al-awadh yang
mempunyai arti ganti atau upah, dan dapat juga berarti sewa.[15]
Dengan kata lain ijarah adalah akad
sewa menyewa antara pemilik ma’jur
(obyek sewa) dan musta’jir (penyewa)
untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas obyek sewa yang disewakannya.
Ijarah
muntahiyah bittamlik adalah akad sewa
menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas
obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada
saat tertentu sesuai dengan akad sewa.[16]
7.
Wadiah
Wadiah
adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila
nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas pengembalian
titipan.
Wadiah
dibagi atas wadiah yad-mudhamanah dan
wadiah yad-amanah. Wadiah yad-mudhamanah adalah titipan yang selama belum
dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Apabila
dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi
hak penerima penitipan. Sedangkan dalam prinsip wadiah yad-amanah, penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang
titipan tersebut samai diambil kembali oleh penitip.[17]
8.
Qardh
dan Qardh Hasan
Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak
yang meminjamkan kewajiban peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu. Qardh hasan adalah pinjaman
tanpa jaminan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama
jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir
periode yang disepakati.
9.
Sharf
Sharf
adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa alat pembayaran (nuqud), atau mata uang (suatu valuta
dengan valuta lainnya).[18]
Transaksi valuta asing pada Bank Syariah (di luar jual beli banknotes) hanya dapat dilakukan dengan
tujuan lindung nilai (hedging) dan
dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih penjabaran aktiva dan kewajiban
valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.
10. Wakalah
Wakalah
adalah akad pemberian kuasa dari muwakil
(pemberi kuasa/ nasabah) kepada wakil
(penerima kuasa/ bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa. Akad wakalah tersebut dapat
digunakan antara lain dalam pengiriman transfer, penagihan utang baik melalui
kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.
11. Kafalah
Kafalah
adalah kemestian seseorang yang diperbolehkan mengelola hartanya sendiri untuk
menunaikan suatu hak yang diwajibkan kepada seseorang atau kemestian menghadirkannya
ke hadapan hakim (pengadilan). Pengertian kafalah al-khafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban)
dan za’amah (tanggungan). Menurut Sayyit Sabiq, yang dimaksud dengan al-khafalah adalah proses penggabungam
tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntunan dengan benda
(materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjan.[19]
Kafalah
adalah akad pemberian pinjaman yang diberikan oleh kafil (penerima jaminan) dan pinjaman tertanggung jawab atas
pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak penerima jaminan.
12. Hiwalah
Hiwalah
adalah pemindahan pengalihan hak dan kewajiban baik dalam bentuk pengalihan
piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/ pengalihan dana dari satu orang ke
orang lain atau satu pihak ke pihak lain.[20]
C. Instrumen
Keuangan Syari’ah Sekunder
Instrumen keuangan syari’ah
sekunder banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan dalam bentuk pasar modal.
Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari instrumen keuangan
primer. Ada berbagai macam instrumen pasar modal, menurut Obaidullah instrumen
penting yang dapat diperdagangkan sebagai hasil pemikiran menurut hukum Islam,
di antaranya adalah sebagai berikut :[21]
1.
Dana Mudharabah (Mudharabah Fund)
Dana
Mudharabah merupakan instrumen keuangan bagi investor untuk pembiayaan bersama
proyek besar berdasarkan prinsip bagi hasil. Instrumen ini diperbolehkan
menurut hukum Islam.
2.
Saham Biasa Perusahaan
(Common Stock)
Saham biasa yang diterbitkan oleh
perusahaan yang didirikan untuk kegiatan bisnis yang sesuai dengan Islam
diperbolehkan.
3.
Obligasi Muqaradah (Profit Sharing Bond)
Obligasi ini diterbitkan untuk
pembiayaan proyek yang menghasilkan uang atau proyek yang terpisah dari
kegiatan umum perusahaan.
4.
Obligasi Bagi Hasil (Profit Sharing Bond)
Obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan yang aktivitas bisnisnya sesuai dengan syariah Islam dan berdasarkan
prinsip bagi hasil jenis ini diperbolehkan.
5.
Saham Preferen (Preferred Stock)
Saham ini memiliki hak-hak istimewa
seperti deviden tetap dan prioritas dalam likuidasi. Karena ada unsur
pendapatan tetap (seperti bunga), maka dilarang menurut hukum Islam.
D.
Pengembangan Instrumen Keuangan Syari’ah
Di samping adanya instrumen-instrumen
keuangan utama, maka perkembangan ke depan perlu pemikiran lebih jauh adanya instrumen-instrumen
keuangan lainnya sebagai bahan kajian dalam hukum Islam, yaitu:[22]
1. Option
2. Future contract
3. Forward Purchased
4. Interest Rate Cap
5. Forward Rate Agreement
6. Repo Rate (Repurchase
Agreement)
Berikut ini adalah beberapa
sekuritas yang diperbolehkan atau dengan catatan-catatan sebagai berikut :[23]
1.
Saham (Ekuitas atau Shares)
Investasi pada saham sudah seharusnya
menjadi preferensi bagi para investor muslim, yaitu untuk menggantikan
investasi pada interest yielding bonds atau
sertifikat deposito, walupun jika kemudian dinyatakan oleh fikih klasik bahwa
ekuiti tidak bisa dipersamakan dengan instrumen keuangan Islami, seperti
kontrak mudharabah atau musyarakah. Ekuiti dapat dijual kapan saja pada pasar
sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham.
Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan shahibul mal (investor) dan perusahaan
sebagai mudharib.
2.
Pasar Sekunder Islami
Diperbolehkannya jual beli saham sesuai
dengan harga pasar, memungkinkan terjadinya jual beli saham di bursa efek
sebagai pasar sekunder. Pasar modal adalah sarana untuk proses alokasi modal.
Selain itu, pasar modal juga berfungsi sebagai penilai kontinu terhadap nilai
sebuah perusahaan. Dalam literatur keuangan, pasar modal yang efisien harus
menyediakan likuiditas dengan biaya transaksi minimum sebagai syarat
terbentuknya efisiensi harga. Harga yang seharusnya mencerminkan nilai
intrinsik suatu perusahaan. Pasar modal yang rasional adalah terjadinya
perilaku rasional dalam harga saham sesuai dengan tingkat deviden dan
ekspektasi yang wajar.
3.
Margin Trading
Margin
trading adalah aktivitas penjualan kredit.
Penjualan saham secara margin, maka para investor diperlukan untuk mempunyai
deposit pada broker yang nilainya
merupakan persentase tertentu dari saham yang akan dibeli. Selanjutnya broker meminjamkan dulu dananya untuk
membeli saham yang diminta.
Bentuk kontrak dalam Islam yang dapat
disejajarkan dengan margin trading
adalah bai-muajjal atau bai murabahah, yang dibenarkan dalam
Islam. Walaupun demikian, ada catatannya bahwa meskipun kontrak ini
diperbolehkan. Yaitu penggunaanya secara luas tidak dianjurkan, karena khawatir
akan membuka kembali pintu bagi spekulasi atau judi pada jual-beli saham.
Disebabkan para spekulan mempunyai peluang untuk mengembangkan operasinya
dengan sekadar margin requirement yang
rendah.
4.
Islamic Bonds
Islamic
bonds (muqaradah
bond) diajukan sebagai alternatif pengganti interest-bearing bonds. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan
pengesahan dari IOC Academy di Yordan. Islamic
bonds dikeluarkan perusahaan dengan tujuan pendanaan proyek tertentu yang
dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum
perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan
persentase tertentu yang telah disepakati. Persentase ini merupakan rasio
pembagian keuntungan, sehingga menggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak ini juga menyediakan pembayaran bond pada saat jatuh temponya.
5.
Pasar Sekunder untuk
Bonds
Perdagangan obligasi di pasar sekunder
mengemuka untuk tujuan likuiditas (as-suyulah).
Hampir semua Islamic bonds dibeli
untuk investasi jangka panjang sampai jatuh tempo. Trading tetap terjadi, namun hanya pada jatuh tempo dengan harga
pada par, sama dengan nominal yang
tertera pada shahdah al-dayn (sertifikat
obligasi). Islamic bonds tidak
diperbolehkan dalam Islam karena di dalamnya terdapat jual-beli utang. Hal yang
demikian adalah riba. Utang adalah tetap utang, meskipun di dalamnya ditunjang
dengan underlying asset-nya.
6.
Derivative dalam
Perspektif Syariah
Derivatives
merupakan salah satu bentuk rekayasa keuangan dalam mendesain strategi dan
solusi inovatif untuk menjamin risiko. Hal yang banyak digunakan di antaranya
adalah forward/future dan options. Forward adalah kontrak untuk membeli atau menjual suatu aset di
masa depan dengan harga yang ditetapkan untuk disepakati. Sedangkan option adalah hak dan bukan kewajiban
untuk membeli atau menjual underlying
asset dengan harga dan waktu penyerahan yang disepakati.
Menurut Vogel dan Hayes (1998) mengklasifikasikan
instrumen-instrumen derivatif sebagai questionable
dalam syari’ah Islam. Belum ada konsensus di kalangan ulama mengenai hal ini. Kebanyakan
ulama berpendapat melarang derivatif dengan dasar di dalamnya ada unsur gharar. Sementara yang lain berpendapat
bahwa derivatif justru dimanfaatkan untuk menangkal gharar sebagai bentuk
manajemen risiko.
Ditemukan atau tidak konsensus mengenai
instrumen kauangan derivatif ini, semuanya adalah dirujukan pada kebutuhan
manajemen risiko. Yaitu semua itu dilakukan untuk hedging, yaitu menutup risiko dari fluktuasi harga, dan bukan untuk
spekulasi ataupun arbritase.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan
materi dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen keuangan
merupakan kontrak atau akad, di mana syarat dan kondisinya akan menentukan
risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut. Kontrak yang berhubungan
dengan transaksi komersial dan bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kategori besar yaitu kontrak transaksional, kontrak pembiayaan, kontrak
intermediasi dan kontrak kesejahteraan sosial.
Berdasarkan teori akad,
dapat diformulasikan kontrak-kontrak keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen
keuangan primer yaitu meliputi mudharabah, musyarakah, murabahah, salam dan
salam paralel, istishna dan istishna paralel, ijarah dan ijarah muntahiyah
bittamlik, wadiah, qard dan qardhul hasan, sharf, wakalah, kafalah, serta
hiwalah.
Selain instrumen
primer, terdapat pula instumen sekunder dalam keuangan syari’ah yang banyak
diaplikasikan pada lembaga keuangan dalam bentuk pasar modal. Instrumen
keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari instrumen keuangan primer. Instrumen
sekunder meliputi dana mudharabah, saham biasa perusahaan, obligasi muqaradah,
obligasi bagi hasil, dan saham preferen.
Di samping adanya
instrumen-instrumen keuangan utama, maka perkembangan ke depan perlu pemikiran
lebih jauh adanya instrumen-instrumen keuangan lainnya sebagai bahan kajian
dalam hukum Islam, yaitu: Option, Future
contract, Forward Purchased, Interest Rate Cap, Forward Rate Agreement, dan
Repo Rate.
[1] Muhammad, Manajemen Keuangan
Syari’ah: Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UUP STIM YKPN, 2014),
hal. 229.
[2] Ibid, hal. 229-231.
[3] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar
Keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 103.
[4] Ibid, hal. 111.
[5] Ibid, hal. 129.
[8] Ibid.
[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hal. 295.
[11] Ibid, hal. 295-296.
[12] Muhammad, Op. Cit, hal.
233.
[14] Ibid, hal. 234.
[15] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 77.
[16] Muhammad, Op. Cit, hal.
234.
[18] Tim Laskar Pelangi, Metodologi
Fiqh Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hal. 23.
[19] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 189.
[20] Muhammad, Op. Cit, hal. 236.
[21] Ibid, hal. 339.
[22] Ibid, hal 340.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar