PERUSAHAAN DALAM ISLAM
A.
PERUSAHAAN
DALAM ISLAM
Dalam
fungsinya sebagai produsen yaitu memproduksi barang-barang yang diperlukan oleh
masyarakat dan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, suatu perusahaan pasti akan mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan
pokok yang harus dipecahkan produsen adalah bagaimana komposisi dari
faktor-faktor produksi yang digunakan, dan berapakah jumlah yang akan digunakan
untuk masing-masing faktor produksi itu.
Ada dua aspek yang
perlu diperhatikan untuk memecahkan permasalahan tersebut yaitu:[1]
1. Komposisi
faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk menciptakan tingkat
produksi yang tinggi,
2. Komposisi
faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk meminimumkan biaya
produksi yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu.
Setiap
perusahaan pasti memiliki tujuan untuk mengoptimalkan keuntungan bagi
perusahaannya dengan cara mengatur penggunaan faktor produksi dengan seefisien
mungkin. Teknik efisiensi terletak pada proses produksi barang. Dalam kriteria
ekonomi, suatu sistem produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi kriteria
berikut:[2]
1. Meminimalkan
biaya untuk memproduksi jumlah barang yang sama
2. Mengoptimalkan
produksi dengan biaya yang sama
B.
PROFIT
OPTIMAL
Dalam
teori ekonomi konvensional profit maksimal merupakan tujuan dasar suatu
perusahaan. Perusahaan yang bertujuan selalu memaksimalkan keuntungan sering
disebut dengan perusahaan yang berperilaku rasional. Hal ini menunjukkan apakah
perusahaan suatu penentuan harga (persaingan sempurna), sebuah pasar monopoli
atau duopoly dan lain-lain. Pasar persaingan sempurna adalah suatu pasar yang
ditandai dengan tidak adanya sama sekali persaingan yang bersifat pribadi antara
perusahaan-perusahaan individu, dalam pasar persaingan sempurna para individu
tidak bisa mempengaruhi harga jual di pasar, dan pasar ini menunjukkan sebuah
pasar yang baik.
Para
ahli ekonomi memberikan teori bahwa persaingan perusahaan sempurna harus
menggunakan teknik efisiensi dalam proses produksi, pada tingkat output dalam
produksi akan menjadi titik dimana biaya marginal sama dengan biaya pendapatan.
Guna mencapai output yang maksimal maka perusahaan-perusahaan mengimbangi hasil
marginal dengan biaya marginal. Kemudian profit adalah perbedaan antara total
revenue dan total cost, profit maksimal ditunjukkan dengan MC=MR. Jadi apabila
profit ingin dioptimalkan lebih banyak barang yang dihasilkan, misalnya MR
lebih besar dari MC. Apabila MC=MR maka perluasan output dengan satu kesatuan
tambahan akan menimbulkan kerugian yang disebut super normal, disebabkan karena
MC meningkat melampaui MR.
Di
dalam pasar monopoli, harga tidak dimunculkan, perusahaan lebih cenderung
mendikte harga, suatu perusahaan bisa saja merubah produknya, perusahaan juga bisa
menentukan banyaknya pengeluaran yang diinginkan dalam memproduksi barang.
Dalam pasar monopoli ini dimana pengeluaran produksi akan menjadi titik
kenaikan suku bunga di dalam MR kurang dari MC. Perbedaannya adalah perusahaan
cenderung menetapkan harga sebelumnya.
Seorang
monopolis dapat menetapkan harga barang dan menjual barang-barang sebanyak
jumlah barang yang akan diserap oleh harga tersebut, atau perusahaan dapat
memutuskan untuk menjual sejumlah output dan sejumlah harga yang terbaik yang
dapat diperolehnya. Model monopoli menunjukkan adanya persamaan-persamaan
dengan model persaingan sempurna. Kedua macam model menyatakan bahwa
keputusan-keputusan diambil oleh seorang pengusaha, bahwa sasarannya adalah
mencapai keuntungan maksimal dan sasaran tersebut dicapai melalui penerapan
analisa marginal.
Dapat
juga dikatakan bahwa asumsi adanya pengetahuan sempurna berlaku bagi kedua
model, walaupun pengetahuan sempurna timbul pada model monopoli sebagai hasil
daripada fakta bahwa keterangan biaya yang relevan timbul karena monopoli itu
sendiri, dan berdasarkan fakta juga seorang monopoli dapat membentuk
elastisistas kurva permintaan pasar dengan jalan mengubah harganya dan kemudian
memperhatikan apa yang terjadi dengan output.[3]
C.
PROFIT
NORMAL DAN PROFIT TIDAK NORMAL
Menurut
Al-Habshi profit normal diartikan sebagai tingkat keuntungan ketika biaya
rata-rata sama dengan pendapatan. Profit normal ini mencakup keuntungan
pengusaha dalam faktor produksi. Ketika suatu perusahaan memperoleh profit
normal, maka semua faktor produksi mencakup didalamnya proses produksi
mendapatkan hak bagiannya sesuai dengn margin yang didapat.
Profit
tidak normal, dibagi menjadi dua yaitu profit super normal dan profit subnormal.
Profit super normal diperoleh ketika penghasilan rata-rata melebihi biaya
rata-rata, dan ketika biaya rata-rata kurang darai biaya rata-rata maka
perusahaan dikatakan memperoleh profit subnormal atau rugi. Jadi dalam
perusahaan yang menginginkan profit super normal, maka perlu melebihi dari
profit normal.
Al-Habshi
juga mengkritisi berkenaan dengan profit maksimal, memang nyatanya semua
perusahaan pasti mengharapkan profit maksimal, namun Al-Habshi meyatakan bahwa
perusahaan tidak hanya bisa berdiri dengan diri mereka. Suatu perusahaan juga
memerlukan masyarakat untuk mendukung semua kegiatannya. Jika perusahaan hanya
mnegharap profit tanpa memperhatikan masyarakat maka juga akan menimbulkan
permasalahan.[4]
Tujuan
Perusahaan Menurut Perspektif Islam
Keadilan
dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya menjadi intisari
ajaran islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja senantiasa harus berpedoman
kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Karena kegiatan
produksi merupakan respon dari kegiatan konsumsi, maka kegiatan produksi
diharpakan menciptakan manfaat (maslahah) bagi masyarakat. [5]
Tanggung
jawab manusia sebagai khalifah adalah mengelola yang telah disediakan oleh
Allah secara efisien dan optimal agar kesejahteraan dan keadilan dapat
ditegakkan. Yang harus dihindari manusia dalam melakukan produksi yaitu berbuat
kerusakan di muka bumi. Segala macam kegiatan ekonomi yang diajukan untuk
mencari keuntungan tanpa berakibat pada peningkatan utility atau nilai guna
tidak disukai dalam islam. Nilai universal lain dalam ekonomi islam tentang
produksi adalah adanya perintah untuk mencari sumber-sumber yang halal dan baik
bagi produksi dan memproduksi dan memanfaatkan output produksi pada jalan
kebaikan dan tidak menzalimi pihak lain.[6]
Produksi
perspektif islam tidak hanya berorientasi untuk memperoleh keuntungan yang
setinggi-tingginya, meskipun mencari keuntungan juga tidak dilarang. Jadi
produsen yang islami tidak dapat sebagai profit optimalizer. Optimalisasi falah
juga harus menjadi tujuan produksi, sebagaimana juga konsumsi. Oleh karena itu,
secara spesifik Siddiqi mengungkapkan perlunya dalam memperoleh profit maksimal,
namun dia juga menyebutkan bahwa perlunya konsep suka sama suka di dalam islam
akan mengerahkan pada keadilan masyarakat dan memperhatikan kesejahteraan orang
lain harus menjadikan tujuan utama. Lebih rinci dia menyebutkan beberapa tujuan
kegiatan produksi, seperti:
1. Pemenuhaan
kebutuhan-kebutuhan sendiri secara wajar
2. Pemenuhan
kebutuhan masyarakat
3. Persediaan
terhadap kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang
4. Persediaan
bagi generasi yang akan datang
5. Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Demikian
juga yang diungkapkan Al-Habshi, bahwa islam tidak menginginkan adanya
eksploitasi dalam mencari keuntungan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa islam
menganjurkan pada umatnya untuk meraih kebaikan hidup dunia dan akhirat. Inilah
yang mendorong umat islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari rizky Allah,
terutama dalam hal pandangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia Allah,
sebagaimana firman-Nya yaitu:
“Apabila telah
ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. 62:10)
Dan
banyak sekali para pelaku ekonomi yang mencintai dunia dengan mencari
keuntungan untuk menambah materi, padahal pada dasarnya islam mengajarkan pada
umunya untuk proporsional dalam mengejar keuntungan. Dalam islam itu sendiri
telah diatur bagaimana tatacara mencari keuntungan tentunya dengan melihat
konsep halal dan haram.
Definisi
keuntungan yang memuaskan yaitu menaikkan dan menurunkan batas keuntungan.
Menaikkan batas keuntungan adalah dengan meninggikan keuntungan jika sesuai
dengan keadaan artinya sesuai dengan kode etik di dalam islam. Sedangkan
menurunkan batas keuntungan adalah tingkat keuntungan yang mana seharusnya
menghasilkan barang produksi untuk kepentingan bersama dan kebaikan hidup
masyarakat.
Dari
berbagai macam pandangan tentang tujuan perusahaan ini, Al-Habshi menggolongkan
itu bukanlah sebagai tujuan perusahaan di dalam perekonomian hanya sekedar
tawaran untuk kepentingan maksimum. Ia mengatakan jika sebuah perusahaan tidak
memaksa untuk meraih keuntungan maksimum maka dia perkirakan
perusahaan-perusahaan itu akan berhenti.[7]
D.
KEBERAGAMAN
TUJUAN PERUSAHAAN DAN IMPLIKASI EKONOMI
Al-Habshi melakukan sesuatu berdasarkan
kebutuhan akan profit dalam memberikan standar minimum pengusaha, investor dan
para pengembang usaha. Kebutuhan profit yang dimaksudkan adalah keuntungan yang
wajar dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat umum. Keuntungan wajar juga
merupakan profit normal yang mana seharusnya menjaga keseimbangan biaya untuk
semua faktor produksi mencakup keinginan para pelaku ekonomi (pengusaha). Dalam
menyejahterakan masyarakat, perusahaan seharusnya memproduksi barang yang lebih
banyak untuk mengurangi harga.
Dengan berbagai ragam pandangan para
pemikir ekonomi tentang tujuan suatu perusahaan, akan sangat memungkinkan
munculnya berbagai macam teori. Setelah diteliti tujuan dari perusahaan,
Al-Habshi berkomentar sebagai berikut:
1. Dengan banyaknya ragam sasaran atau tujuan
perusahaan, dan dipaksakan membuat fungsi matematik ajaran Islam, maka hasilnya
fungsi berisi tentang keseimbangan antara perolehan moril dan spiritual.
2. Dari
penelitian, perusahaan seharusnya mampu memperoleh kekayaan yang sewajarnya
dari pengembangan perusahaan untuk kebaikan umum
3. Para
konsumen di dalam masyarakat Islam cenderung ingin menghasilkan barang lebih
banyak dan harganya lebih murah, keuntungan yang berlebihan dalam artian super normal profit.
4. Dengan
cara diproduksinya barang-barang akan diharapkan bisa memenuhi keperluan dasar,
ketika kebutuhan dasar itu dipenuhi oleh perusahaan, maka dia termasuk produksi
barang-barang untuk kesejahteraan orang lain.
5. Secara
umum kesejahteraan masyarakat tidak hanya dibebankan kepada keadaan, namun
harus dicapai dari kerjasama antar pengusaha.
Pada
kesimpulannya, Al-Habshi mengatakan bahwa penelitian ini sangat perlu
dikembangkan. Dari berbagai pandangan pemikir ekonomi modern dalam menentukan
tujaun perusahaan, masih banyak terjadi perbedaan. Namun perbedaan-perbedaan
ini pada akhirnya antara yang satu dan yang lainnya saling melengkapi. Tujuan
perusahaan pertama yang harus dicapai adalah keuntungan yang sebesar-besarnya.
Islam tidak melarang untuk mencari keuntungan ini selagi masih berada dalam
etika Islami. Sedangkan dalam perusahaan konvensional, suatu perusahaan hanya
dituntut untuk mencari keuntungan materi yang sebesar-besarnya.
E.
TATA
KELOLA PERUSAHAAN DALAM ISLAM
Sehubungan dengan persoalan tata kelola
perusahaan, setiap stakeholder memiliki tugas memenuhi kewajiban
kontraknya sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kontrak secara langsung atau
tidak langsung dan mereka tunduk pada tuntunan syari’ah. Singkatnya prinsip
kontrak dalam Islam menetapkan pedoman untuk mengidentifikasi dan memenuhi
kualifikasi siapa yang merupakan stakeholder yang sah.
Tata kelola perusahaan secara Islam
berdasarkan model berorientasi stakeholder. Dalam model ini menyajikan
dua konsep dasar prinsip-prinsip syari’ah, yakni prinsip hak milik dan prinsip
kerangka kontrak. Tata kelola setiap perusahaan dalam Islam diatur oleh
syari’ah bagi semua stakeholder termasuk pemegang saham, manajemen, dan stakeholder
lain seperti karyawan, para pemasok, para pemodal, dan masyarakat.
Dewan syari’ah berperan memberikan
nasihat dan mengawasi operasi perusahaan untuk memastikan kegiatan tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Dewan direksi yang bertindak atas nama
pemegang saham, mempunyai tugas memantau dan mengawasi kegiatan bisnis secara
keseluruhan. Para pemegang saham memiliki kewajiban menyediakan modal usaha.
Para manajer mempunyai tugas mengelola perusahaan sebagai wujud pemberian
kepercayaan dari seluruh stakeholder, bukan hanya dari para pemegang
saham. Selanjutnya karyawan berkewajiban menjalankan tugas sesuai deskripsi
jabatan masing-masing.
Para stakeholder lainnya, seperti
nasabah dan pelanggan, memiliki tugas memenuhi semua kewajiban kontrak mereka.
Selain itu, negara sebagai salah satu stakholder menjadi lembaga
eksternal yang menciptakan kerangka regulasi dan berkewajiban menjamin
terlaksananya kontrak dari kasus pelanggaran oleh pihak manapun. Dengan demikian, definisi stakeholder
bukan hanya tertuju kepada para pemegang saham atau kepada mereka yang berpartisipasi aktif dalam proses
pengambilan keputusan, tetapi termasuk juga stakeholder non-investor
atau non-pemilik, yaitu pihak yang berpartisipasi langsung atau tidak langsung
dalam perusahaan.
Rancang bangun model tata kelola
perusahaan dalam Islam memiliki ciri tersendiri yang unik dan menyajikan
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan konsep barat model Anglo-Saxon
dan model Eropa. Perbedaan ketiga model tersebut dirangkum dan diklasifikasikan
ke dalam lima aspek, yaitu filosofi, tujuan perusahaan, sifat manajemen, dewan
manajemen, dan struktur kepemilikan yang berkaitan dengan modal.
Model Anglo-Saxon mengutamakan nilai
pemegang saham dan model Eropa melindungi semua kepentingan dan hak-hak stakeholeder,
sedangkan model syariah bertujuan menempatkan maqasid syari’ah sebagai tujuan
akhir. Hal ini mencakup pengertian melindungi kepentingan dan hak-hak semua stakeholder
sesuai tuntunan syari’ah. Sifat manajemen model Islam didasarkan pada dua
prinsip dasar. Pertama adalah musyawarah dan kedua adalah proses interaktif,
terintegrasi, dan evolusi. Tingkat tertinggi manajemen adalah dewan syari’ah
yang berwenang untuk mengawasi kegiatan perusahaan secara keseluruhan agar
sesuai dengan prinsip syari’ah.
Sifat struktur kepemilikan dalam tata
kelola perusahaan Islam menganggap para pemegang saham dan pemilik modal
investasi sebagai pemilik yang sah, bukan hanya para pemegang saham sendiri.
Ciri atau karakteristik yang nyata pada tata kelola perusahaan Islam adalah
mengabungkan unsur tauhid; musyawarah; proses interaktif, integrasi, dan
evolusi; aturan syari’ah atau hukum Islam; memelihara tujuan pribadi tanpa
mengabaikan kewajiban kesejahteraan sosial.
Jika dibandingkan antara model-model
normatif yang dibentuk sebelumnya dengan sumber hukum positif yang berlaku dan
contoh penerapannya di Indonesia, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia
menggunakan sistem Eropa kontinental yang disebut two-board system.
Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas antara keanggotaan dewan
komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan. UU
Perseroan Terbatas tampaknya menganut model ini sehingga membedakan tugas dan
kewenangan direksi dengan tugas kewenangan komisaris.
Pada lingkup tata kelola perusahaan
syariah yang lebih sempit, misalnya dapat dilihat melalui struktur organisasi
yang terdapat dalam Bank Umum Syari’ah. Keharusan adanya Dewan Pengawas
Syari’ah dalam struktur dan kegiatan perbankan syari’ah sudah diberlakukan
secara formal dalam sejumlah hukum positif di Indonesia. Namun, bagi perseroan
terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, mereka
diwajibkan pula melibatkan DPS ini dicantumkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada
UU tersebut tercantum satu pasal yang menyinggung tentang Dewan Pengawas
Syari’ah, yaitu pada Bagian 2 Dewan Komisaris Pasal 109, yang dinyatakan sebagai berikut.
a. Perseroan
yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah selain mempunyai
Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syari’ah.
b. Dewan
Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) teratas seorang ahli syari’ah atau
lebih yang diangkat oleh RUPS rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
c. Dewan
Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan
prinsip syari’ah.
Sesuai
dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, undang-undang
ini mewajibakan perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah,
selain mempunyai dewan komisaris, juga mempunyai dewan pengawas syari’ah. Tugas
DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
perseroan agar sesuai denga prinsip syari’ah.
F.
RELEVANSI
TUJUAN PERUSAHAAN DAN TATA KELOLA PERUSAHAAN
Kata tata kelola (governance) berasal dari kata latin gubernare
yang berarti mengarahkan atau memerintah. Osford English Dictionary
mendefinisikan memerintah (govern) sebagai memandu (guede), mengatur (direct), atau mengarahkan masyarakat.
Menurut Stoker (1998:17),
tata kelola berkenaan dengan timbulnya berbagai gaya yang mengatur ketika
batasan-batasan antara sektor publik dan privat menjadi tidak jelas. Definisi
ini memberikan makna yang terlalu luas karena dapat mencakup bidang politik, ekonomi,
keadilan sosial, dan administrasi publik.
Secara umum, definisitata kelola
perusahaan dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dalam arti sempit tata
kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu sistem normal akuntabilitas
manajemen senior kepada pemegang saham. Kedua, dalam arti luas tata kelola
perusahaan mencakup keseluruhan jaringan hubungan formal dan informal yang
menyangkut sektor perusahaan dan konsekuensinya bagi masyarakat secara umum.
Konsep tata kelola perusahaan dari
perspektif Islam tidak banyak berbeda dengan definisi konvensional karena hal
tersebut mengacu pada sebuah sistem, yaitu perusahaan diarahkan dan
dikendalikan agar memenuhi tujuan perusahaan dengan melindungi kepentingan dan
hak semua stakeholder. Namun demikian, paradigma Islam memperlihatkan
perbedaan karakteristik atau ciri-ciri dibandingkan dengan sistem konvensional
ketika berkenaan dengan persoalan konsep pengambilan keputusan yang lebih luas
dengan menggunakan dasar pemikiran (premis)epistemologi sosial-ilmiah Islam
yang didasarkan pada ketauhidan Allah.
Tata kelola perusahaan dalam Islam dan
Barat berperan sangat penting dalam rangka memenuhi tujuan tertentu dan tujuan
perusahaan. Sebenarnya, Islam sudah lebih jauh menambahkan nilai-nilainya
dengan menegaskan unsur maqasid syari’ah yang tidak ditemukan dalam konsep
Barat. Fungsi-fungsi tujuan menempatkan maqasid syari’ah sebagai tujuan akhir
dari tata kelola Islam. Maqasid syari’ah bermakna perlindungan atau
kesejahteraan manusia, yang terletak dalam bentuk perlindungan hak asasi berupa
keyakinan agama, hidup, intelektual, keturunan, dan kesejahteraan.
Perusahaan dapat menentukan standar
etika yang tinggi dengan menciptakan suatu paham atau tradisi perusahaan,
mengembangkan dan melaksanakan kode etik tersebut secara adil dan konsisten;
melakukan pelatiah etika; mempekerjakan orang yang tepat; melaksanakan audit
etika secara berkala; tidak hanya sebatas aturan-aturan; menetapkan
contoh-contoh etika setiap waktu; menciptakan budaya yang menekankan komunikasi
dua arah dengan melibatkan karyawannya dalam menetapkan standar etika.
Gambaran sejumlah perusahaan publik di
Indonesia hanya menempatkan keuntungan sebagai tujuan perusahaan (single
bottom line).
Keberadaan stakeholder tidak pernah diperhitungkan oleh perusahaan.
Kalaupun diperhitungkan peranannya sangat sedikit. Sebenarnya keberadaan stakeholder
ini dapat menjadi alat untuk self control yang efektif, misalnya kritik
dan saran mereka merupakan sarana yang baik untuk mengevaluasi kelemahan sistem
dan struktur perushaan. Ulasan mengenai tujuan perusahaan dalam hal ini diamati
dan dikembangkan dari sudut pandang atau konteks tata kelola perusahaan karena
terdapat kecenderungan yang menitikberatkan bukan hanya pada kepentingan
pemegang saham, namun lebih meluas pada pihak stakeholder dan aspek lain
dalam tinjauan syari’ah.
Secara umum diketahui bahwa tujuan utama
perusahaan adalah untuk memaksimalkan nilai kesejahteraan pemegang saham. Jika
demikian, maka hal ini menandakan bahwa perusahaan tersebut, termasuk juga
perusahaan Islam yang memiliki tujuan tersebut, dalam praktiknya masih
mengadopsi tata kelola perusahaan model Anglo-Saxon. Dalam konteks tata kelola
perusahaan Islam, terdapat beberapa studi yang telah dilakukan khususnya pada
lembaga keuangan Islam dan ditemukan model tata kelola perusahaan alternatif.
Studi tersebut menyatakan bahwa perusahaan Islam dapat mengambil model yang
sama sekali berbeda atau membuat versi modifikasi dari model stakeholder-oriente
sebagai alternatif kerangka tata kelola perusahaan. Studi yang pertama mengacu
pada model tata kelola perusahaan berdasarkan prinsip konsultasi yang
menegaskan bahwa semua stakeholder memiliki tujuan yang sama, yaitu
tauhid atau keesaan Allah. Studi selanjutnya mengadopsi sistem nilai; stakeholer
dengan beberapa modifikasi. Dalam konteks Islam, kepentingan stakeholder
bukan hanya seputar return finansial atau memaksimalkan keuntungan
tetapi kepentingan tersebut juga meliputi unsur etika, syari’ah, dan prinsip
tauhid.
Para stakeholder sebagai khalifah
Allah mempunyai tugas untuk menegakkan prinsip keadilan distributif melalui
proses permusyawaratan. Chapra (1992:234) menyebutkan bahwa praktik
musyawarah bukan merupakan pilihan, tetapi suatu kewajiban. Unsur musyawarah
memberikan seluas mungkin partisipasi stakeholder dalam urusan negara,
termasuk juga perusahaan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil.
Dalam menentukan cakupan syari’ah, lembaga dewan syari’ah masuk ke dalam
struktur dan memainkan peran penting untuk memastikan bahwa semua kegiatan
perusahaan sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Pemegang saham juga memainkan peran
besar sebagai partisipan aktif dan merupakan stakeholder yang sadar
dalam proses pengambilan keputusan dan kerangka kebijakan dengan
mempertimbangkan kepentingan semua stakeholder yang langsung dan tidak
lansung, bukan hanya sekedar memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Stakeholder
yang lain termasuk masyarakat juga seharusnya memainkan peran mereka untuk
saling bekerja sama melindungi kepentingan secara keseluruhan dan untuk
menstimulasi fungsi kesejahteraan sosial. Semua proses ini berpusat pada
pemenuhan terhadap tujuan utama tata kelola perusahaan Islam yang melengkapi
tujuan pribadi dan tujuan sosial melalui penegakan prinsip keadilan
distributif.[8]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fungsi suatu perusahaan
pada umumnya yaitu memproduksi barang-barang maupun memberikan jasa-jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Permasalahan yang biasanya akan dihadapi oleh
produsen yaitu komposisi faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah yang
akan digunakan untuk faktor-faktor produksi itu. Setiap perusahaan pasti akan
berusaha mengoptimalkan keuntungan perusahaannya denga cara yang seefisien
mungkin. Sistem produksi dikatakan efisien jika memenuhi kriteria berikut
yaitu: meminimalkan biaya untuk memproduksi jumlah barang yang sama, dan
mengoptimalkan produksi dengan biaya yang sama.
Dalam ekonomi
konvensional profit maksimal merupakan tujuan utama suatu perusahaan. Profit
normal yaitu suatu tingkat keuntungan ketika biaya rata-rata sama dengan pendapatan.
Profit tidak normal dibagi menjadi dua yaitu profit super normal dan profit
subnormal. Profit super normal diperoleh ketika penghasilan rata-rata melebihi
biaya rata-rata. Profit subnormal diperoleh ketika penghasilan rata-rata kurang
dari biaya rata-rata perusahaan. Menurut perspektif islam kegiatan produksi
harus senantiasa berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi
masyarakat.
Keuntungan yang wajar
merupakan profit normal yang mana seharusnya menjaga keseimbangan biaya untuk
semua faktor produksi mencakup keinginan para pelaku ekonomi. Konsep tata
kelola perusahaan syariah berbeda dengan konsep tata kelola barat, perbedaannya
yaitu dalam islam menolak rasionalitas dan rasionalisme sebagai filosofi tata
kelola perusahaan syariah dan menggantinya dengan tauhid. Konsep tata kelola
perusahaan dalam perspektif islam mengacu pada sebuah sistem, yaitu perusahaan
diarahkan dan dikendalikan agar memenuhi tujuan perusahaan dengan melindungi
kepentingan dan hak stakeholder. Tata kelola perusahaan dalam islam menambahakn
nilai dengan menegaskan unsur maqasid syariah yang bermakna perlindungan atas
kesejahteraan manusia, yang terletak dalam bentuk perlindungan hak asasi berupa
keyakinan agama, hidup, intelektual, keturunan dan kesejahteraan.
[1] Muhamad, Manajemen Keuangan
Syariah, Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),
hlm.68
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,hlm.69-70
[4] Ibid.,hlm.70
[5] Ibid.,hlm.70
[6] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Mikro Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.103
[7] Muhamad, Manajemen Keuangan
Syariah, Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm.70-72
[8] Ibid.,hlm.72-81
saya serenity autumn, saat ini tinggal di texas city, usa. Saya seorang janda saat ini dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada Mei 2019 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya. saya mencoba mencari pinjaman dari berbagai perusahaan pinjaman baik swasta maupun perusahaan tetapi tidak pernah berhasil, dan sebagian besar bank menolak kredit saya. tetapi seperti yang diinginkan, saya diperkenalkan kepada seorang wanita dewa pemberi pinjaman pinjaman pribadi yang memberi saya pinjaman sebesar 850.000,00 usd dan hari ini saya adalah pemilik bisnis dan anak-anak saya baik-baik saja saat ini, jika Anda harus menghubungi perusahaan mana pun dengan referensi untuk mengamankan pinjaman tanpa agunan, tanpa pemeriksaan kredit, tanpa penandatangan bersama hanya dengan 2 tingkat bunga dan rencana dan jadwal pembayaran yang lebih baik, silakan hubungi mr pedro di email pedroloanss@gmail.com dia tidak tahu bahwa saya melakukan ini tetapi saya Saya sangat bahagia sekarang dan saya memutuskan untuk membiarkan orang tahu lebih banyak tentang dia dan saya juga ingin Tuhan memberkati dia lebih banyak.
BalasHapus