RIBA DAN IMPLIKASINYA
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini perbincangan mengenai riba kembali
mencuat, sehingga upaya melakukan usahaguna menghindari hal itu mulai
dilaksanakan. Istilah mengenai riba sering dibahas dalam Islam, sehingga
seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Padahal kebanyakan orang tidak
mengetahui bahwa dunia Kristen pun selama satu milenium riba adalah barang
terlarang dalam pandangan teolog, cendikiawan maupun menurut undang-undang yang
ada.
Riba merupakan sesuatu yang tidak asing kita jumpai
disekeliling kita. Sungguh tidak bisa dipungkiri bahwasannya praktek riba sudah
mendarah daging dikehidupan ini bahkan merambah ke berbagai negara dan sulit
diberantas keberadaannya, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan
pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Oleh karenannya dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan riba serta memberikan gambaran mengenai
konsep bagi hasil yang memang secara syariah dibenarkan karena memang prinsip
yang ada didalamnya menjunjung tinggi keadilan.
B.
Sejarah
Riba
Pada zaman pra
islam, Riba dipraktikkan dengan memberikan tenggang waktu pelunasan hutang dan
dengan menambahkan biaya atas penundaan. Hal ini pastinya akan secara tidak
langsung akan menambah nilai hutang. Dalam beberapa kasus hanya orang terdesak
kebutuhan saja yang terus melakukannya karena ia tidak memiliki pilihan selain
menunggak pelunasan hutang . Si kreditur setuju untuk menunda tagihannya dan
menunggu pelunasan dengan memperoleh keuntungan yang lebih banyak atas
pinjamannya.[1]
Disisi lain, si
debitur terpaksa membayar jumlah yang bertambah guna menghindari tagihan yang
menekan dari kreditur dan menghindari resiko. Jadi begitu waktu berjalan dan
kerugian si debitur terus bertambah masalahnya bertumpuk hingga seluruh apa
yang ia miliki habis diambil si kreditur.
Para ulama fiqih
mulai membicarakan tentang riba, jika
mereka memecahkan macam persoalan muamalah. Banyak Ayat-ayat Al-Qur’an yang
membicarakan riba sesuai dengan
periode larangan, sampai dengan sampai ahirnya datang larangan secara tegas
pada ahir periode. Penetapan hukum riba,
Riba pada Agama-agama langit (samawi)
telah dinyatakan haram. Tersebut didalam perjanjian lama Kitab keluaran ayat 25
pasal 29: “Bila kamu mengutangi seseorang
di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang
pemberi utang, jangan kami meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”.
Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba
itu terlarang kalau dilakukan dikalangan Yahudi. Tetapi tidak di larang bila
dilakukan dengan Non-Yahudi. Hal ini tersebut dalam Kitab ulangan 19 pasal 23 :
“janganlah engkau membanguankan kepada
soudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan’’.
Demikian pula dalam Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan : “janganlah engkou mengambil bunga uang atau
riba darinya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu, supaya soudaramu bisa
hidup diantaramu. Janganlah engkou beri uangmu kepadamu dengan meminta bunga,
juga makananmu jangan kou berikan dengan meminta riba”.[2]
Namun Islam
mengagap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang berlaku dalam
golongan tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupaka
ketetapan yang dipalsukan. Sebab riba ini
diharamkan kepeda semua orang tanpa pandang golongan. Dalam Hadits Qudsi
disebutkan: “wahai hamba-Ku! Aku
mengharamkan kedhaliman kepada diri-Ku dan Aku telah tetapkan sebagai perbuatan
haram di tengah kamu. Karna itu kamu jangan saliang berbuat dhalim”.
Islam tidak
membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunannya. Karena manusia adalah hamba Allah.
Namun, umat Yahudi mengagap ada perbedaan besar antara umat Yahudi dengan umat
yang lain, sebagaimana mereka mengatakan dalam Al-Qur’an “kami adalah putra-putra Allah dan kekasihnya”. Orang Yahudi
mengharamkan riba sesama mereka tapi menghalalkannya kalau dilakukan pada pihak
lain. Hal ini yang mendorong umat Yahudi Memakan Riba dari pihak lain dan
menurut Al-Quran, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai halnya memakan riba.
Menurut Muhammad
Assad, dalam The Massage of the Qur’an dinyatakan, bahwa setelah
dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir’aun, bangsa Yahudi
mendapatkan berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah
jaman Nabi Isa, Bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam
sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan
praktik riba dan memakan harta manusia secara batil. Praktik-praktik serupa itu
sampai kinipun masih saja dilakukan oleh bangsa Yahudi.[3]
Reputasi bangsa
Yahudi dalam pembangunan Uang memang sangat terkenal. Pada masa kinipun Amerika
Serikat, praktik pembangunan uang oleh kelompok etnis Yahudi, diluar lembaga
perbankan, koperasi masih menjadi fenomena umum. Berbeda dengan umat Yahudi,
umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang,
tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun Non-Nasrani. Tokoh-tokoh Gereja
sepakat berpegang kepada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka.
Ketetapan
semacam ini menujukkan pengharaman riba dengan tegas dalam agama Nasrani. Namun
kaum priba berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak
dibenarkan oleh pihak Gereja karna pengaruh ekonomi Yahudi. Akhirnya muncul
anggapan dan pendapatan, bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan
adminitratif dan organisasi dibenarkan. Kajian tentang larangan riba didalam
pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an (2:278). Larangan
tersebut dilatarbelakangi suatu peristiwa atau asbabul nuzulnya ayat yang dinyatakan: “dalam suatu riwayat bahwa
turunnya ayat 278-279 (QS:2) berkenaan dengan pengaduan Banil Mughirah kepada
Gubernur Mekah setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin As-yad tentang
utang-utangan yang beriba ada hukum penghapus riba, kepada Banu ‘Amr bin ‘Auf
dari suku Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada ‘Attab bin As-yad:”kami adalah
manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar
riba oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum
penghapusan riba.”Maka Gubernur ‘Attab menulis surat kepada Rosulullah SAW.
Yang dijawab oleh Nabi SAW sesuai dengan ayat (278-279): “akan memerangimu. Dan jika kamu berbuat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[4]
Dari peristiwa
ini, jelas bahwa setelah datangannya hukum yang tidak memperbolehkan peraktik
riba, baik dalam bentuk besar maupun kecil, maka praktik tersebut segera harus
berhenti dan dinyatakan telah berahir. Sementara ada pendapatan yang menyatakan
bawa ayat ini turun dengan kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin
Walid, dua orang yang bernegosiasi usaha pada zaman jahiliyah.
Dengan demikian,
ketetapan ayat tersebut tidak hanya terbatas hanya terbatas haramnya riba dalam
kredit konsumtif, jika kita telah mengetahui bahwa sebagian besar sebagian
besar kredit yang dikeluarkan pada waktu itu bersifat produktif. Oleh karna
itu, kredit untuk hal-hal yang produktif dengan mengenakan riba adalah haram.
Karena itu adalah lebih tepat dan sangat patut jika haramnya riba mencakup
kredit konsumtif.
C.
Pengertian
Bunga dan Riba
Secara leksikal,
bunga sebagai terjemahan dari kata interst.
Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interst is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount
loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan presentase dari uang yang di pinjamkan.
Kata riba; ziydah, berarti: bertumbuh, menambah
atau berlebih. Al-Riba atau Ar-Rima makna asalnya iyalah tambah, tumbuh dan
subur. Adapun
pengertian tambahan dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa
inggris sebagai “usury” yang artinya
“the oct of lending monay at an
exorbitant or illegal rate of interens” sementara para ulama fikih
mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak
ada imbalan/gantinya.” Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap
modal uang yangtimbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan
tergantung kepada pemilik uang pada saat uang jatuh tempo. Aktivitas semacam
ini, berlaku luas dikalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Isalam,
sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan
muamalah dengan cara tersebut.[5]
Oleh karena itu,
apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest”dan’usuary”yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama.
Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam presentase. Istilah “usuary” muncul karena belum mapannya
pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan sesuatu
tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar
keuangan kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga
di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
D.
Jenis-Jenis
Riba Dan Hukumnya
Ulama
fikih-sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i Abdul Hadi (1993) – membagi riba
menjadi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba
yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan
“kelebihan pada saah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran
syara’. Ukuran syara’ adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, satu
kilogram beras dijual dengan satu seperempat kilogram . kelebihan1/4 kilogram
tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacamini hanya berlaku dalam barter.
Riba bisa diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : Riba
Fadl, Riba Al-Yadd, dan Riba An-Nasi’ah.[6]
Riba
an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang
kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu
jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar
utang dan kelebihannya, pada waktunya bisa diperpanjang dan jumlah utang
bertambah pula.
Ahirnya muncul
berbagai pendapat tentang dua jenis riba tersebut dikalangan para ulama fikih.
Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin
Hambal, riba fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang
sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai
harta, maka kelebihan yang terjadi bukan merupakan riba fadl.
Kuadrat barang Ribawi dan Non
Ribawi
|
Barang
Ribawi
|
Non-Ribawi
atau Ribawi Berbeda.
|
Barang
Ribawi
|
Sama
kualitas
Sama
kuantitas
Kontan
|
Boleh
Benda kuantitas
Beda
kuantitas
Tetapi
kontan
|
Barang
Non-Ribawi
|
Boleh
beda kualitas
Boleh
beda kuantitas
Tetapi
kontan
|
Boleh
beda kualitas
Beda
kuantitas
Tetapi
kontan
|
Sementara itu
mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian, bahwa ilat keharaman riba fadl pada
emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik
emas dan perak itu telah dibentuk. Dalam menetapkan ilat riba an-nasi’ah dan
riba fadl pada benda-benda jenis makanan, terhadap perbedaan pendapatan ulama
mazhab Maliki dengan Safi’i.
Menurut ulama
Mazhab Maliki, ilat jenis makanan yang terdapat dalam riba an-nasi’ah dengan
ilat yang terdapat dalam riba fadl adalah berbeda. Dalam riba an-nasi’ah, ilat
pada benda jenis makanan adalah karena sifatnya bisa dikonsumsi. Apabila satu
jenis makanan dijual dengan jenis makanan yang sama, maka harus satu takaran,
seimbang dan adil.dengan prinsip ini maka an-nasi’ah bisa berlaku pada seluruh
jenis makanan, seperti beras, gandum, semangka, dan lain-lain. Sedangkan ilat
pada riba fadl menurut ulama Mazhab Maliki tidak membatasi Waktu tahan lama
yang dimaksud. Alasannya adalah agar umat manusia tidak tertipu dan harta
mereka terpilih dari tindakan spekulan.[7]
E.
Gambaran
Terjadinya Riba
Riba karena juga termasuk dalam kategori
mengambil,memperoleh atau tambahan harta dengan cara tidak benar. Ayat-ayat
berikut melarang riba dengan jelas dan tegas :[8]
a)
(QS Ali Imron ayat 130)
”hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dngan berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
b) (QS
Annisa ayat 161)
“dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya meeka telah melarang dari
padanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang
pedih.”
c) (QS
Arrum ayat 39)
“dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Alla. Dan jika apa yang
kamu berikan beupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang
apa yang dimaksut dengan riba. Juga menerangkan alasan pelarangan riba. Lebih
banyak penjelasan karena akan mendapatkan siksa yang pedih, yang lebih bersifat
akhirat. Cukup banyak pula hadits yang mengecam perbuatan riba ini, diantaranya
adalah hadis dari zabir, Nabi SAW mencela penerima pembayar bunga, orang yang
mencatat begitu pulla yang menyaksikan transaksi dimaksud. Beliau bersabda : “
mereka semua sama-sama berada dalam berdosa.”(HR. Muslim; Tarmizi dan Ahmad)
Jelasnya, jual beli sama dengan riba.
Karenanya akan menjadi sangat penting untuk dapat membedakan antara riba dan
perdagangan biasa. Bisa jadi bahwa riba yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut
adalah sebagaimana yang dipahami saat Al-Qur’an diturunkan. Salah satunya adalah Riba Al-jahiliyah, yaitu
panambahan jumlah hutang bagi peminjam yang tidak dapat membayar pada saat
jatuh tempo.beberapa bahkan menyebutkan bahwa Al-Qur’an hanya merujuk pada
jenis riba ini.[9]
Dalam hal ini, pelacakan lebih lanjut
harus dilakukan melalui sunnah untuk memperoleh penjelasan lebih rinci. Dalam beberapa
kasus, Rosullullah menjelaskan contoh – contoh pinjaman dan perdagangan yang di
anggap riba. Dari usamah bin zaid, nabi SAW bersabda : “sesungguhnya riba itu bisa terjadi pada jual beli secara
hutang(kredit).”(HR. Bhukori; Muslim dan Ahmad)
Dari Usammah bin Zaid, bahwasanya
rosullulah bersabda: “riba tidak mungkin
terjadi pada jual beli secara tunai.”(HR. Muslim :Nasai). Fadallah Bin Ubay
berkata bahwa “keuntungan yang diperoleh
dari pemberian pinjaman meupakan salah satu aspek dari riba.“ (Sunan Al
Baihaqi).
Hadits – hadits tersebut sering ditunjuk
sebagai penjelasan riba nasiah, imbala yang ditetapkan sebelumnya karena
pinjaman dan alasan penangguhan pembayaran. Keterangan yang lain merujuk
sebagai riba al-fadl, pertambahan karena faktor pertukaran, bukan alasan
penangguhan.
Dari abu said al Khuduri, Nabi SAW
bersabda : jangan melebih-lebihkan satu
dengan lainya; jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan
jangan melebih-lebihkan satu dengan lainya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak
tampak.” (HR Bukhari; Muslim, Tirmidzi Masai, dan Ahmad)
Dari ubada bin Sami, Nabi SAW bersabda :
“emas untuk emas, perak untuk perak,
gandung untuk gandum, barang siapa membayar lebih atau menerima dia telah
berbuat riba. Pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa).”(HR Muslim dan
Ahmad).
Pelarangan riba tidak lantas membuat
utang-piutang tidak dibolehkan. Paling tidak Al-Qur’an malah memberikan tata
cara melakukannya dengan adanya catatan.[10]
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah secara tidak tunai untuk
jangka waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dngan bena. Dan janganlah penulis enggan
menuliskan sebagaimana Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia mnulis, dan
hendaklah orang yang mengutang itu mengamalkan apa yang akan dituliskan itu,
dan hendaklah bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang orang yang lemah akalnya atau
lemah keadaanya atau keadaannya sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaknya
walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang laki-laki diantaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka boleh
satu laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi,
supaya jika seorang lupa seorang lagi bisa mengingatkan. Jangan saksi-saksi itu
enggan member keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu
menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai waktu membayarnya.” (QS 2:282-285)
F.
RIBA
DAN MASALAH KEUANGAN (INVESTASI)
Evolusi konsep riba tidak lepas dari perkembangan
lembaga keuangan. Lembaga keuangan timbul karena kebutuhan modal untuk
membiayai industri dan perdagangan. Untuk modalnya berasal dari pedagang (Shahibul Mall) Oleh karenanya pada
waktu itu para bankir pada umumnya adalah pedagang. Adapun pelopor pendiri bank
adalah kaum Yahudi yang selanjutnya diikuti oleh orang-orang pribumi Italia.[11]
Terkait mengenai hal itu bank pastinya mengenakan
biaya untuk peminjam karena bank juga
harus membayar ongkos itu untukbisa meberikan pinjaman.Oleh karenanya ada
istilah modalmurni yaitu tingkat bunga nominal dikurangi beberapa ongkos
seperti biaya administrasi,jaminan terhadap keamanan utang pokok maupun
bunganya serta ongkos-ongkos untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran
dengan angsuran. Semua ongkos itu dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik
ongkos itu dengan tujuan menjaga menjaga amanat dari pemilik modal.
Mereka yang memiliki uang pastinya memiliki uang
dalamjumlah yang kecil atau besar pasti juga menanggung beban dan resiko dengan
meminjam atau menyimpan uangnya di bank. Pertama
ia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan uang itu baikkonsumsi atau yang
lainnya. Kedua, Nilai uang yang bisa
merosot.Ketiga, Pemilikuang menanggung
resiko uang tidak kembalikarena itu bank perlu memperhitungkannya, demi
keamanan pemilik modal agar bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam
mengelola uangnya tersebut.
Dari uraian diatas dapat dikatan bahwasannya
hubungan riba dengan masalah keuangan sangat berkaitan diantarannya sebagai
berikut:[12]
1.
Pandangan Islam tentang uang
Uang
merupakan benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpanan nilai semua
barang. Dalam pandangan Islam menurut Ibnu Taimiyah, uang merupakan alat tukar
dan alat ukur nilai. Melalui uang nilai suatu barang akan diketahui dan mereka
tidak menggunakannya untuk dirinya sendiri. Dan hal itu juga dikemukakan oleh
muridnya yaitu Ibn Qoyyim bahwasannya uang tidak dimaksudkan untuk benda itu
sendiri tetapi dimaksudkan untuk memperoleh barang-barang.
Selanjutnya masih terkait tentang
uang Al-ghazali mengatakan bahwa uang bagaikan kaca yang tidak memiliki warna
akan tetapi bisa merefleksikan semua warna jadi, uang tidaklah memilki harga
anamun bisa merefleksikan harga. Melihat fungsi uang tersebut menunjukkan bahwa
dalam Islam keberadaan uang dapat memberikan kegunaan kepada pemakaiannya. Oleh
karenannya uang bukan merupakan suatu komoditas melainkan fungsi uang yang
memberikan keguanaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwasannya fungsi uang menurut Islam adalah sebagai media pertukaran
(transaksi), Jaga-jaga atau investasi, Satuan hitung uantuk pembayaran (Ba’i Muajjal). Uang merupakan sesuatu
yang mengalir (Flow Concept) dan juga sebagai barang publik (Public goods).
2.
Pandangan Islam terkait dengan Nilai
waktu uang
Dalam ekonomi
islam konsep time value of money tidak akan terjadi, melainkan
mengunakan konsep economic value of time jadi disini waktu yang efektif
dan efisien akan mendatangkan keuntungan didunia dan diakhirat. Oleh karenanya
pemanfaatan waktu juga harus dilandasi dengan keimanan.
Pada dasarnya bisnis tidak lepas dari return dan risk . bisnis tidak hanya
mendatangkan keuntungan tanpa adanya resiko. Hal ini sudah disinggung dalam
konsep time valuae of money, bahwa
sebagai pengganti atas situasi ketidakpastian, maka dimunculkan konsep Discount rate.Dalam ekonomi islam
penggunaan sejenis Discount rate dalam
menentukan harga mu’ajjal (bayar
tangguh) dapat dibenarkan. alasannya sebagai berikut:
a.
jual beli dan sewa-menyewa adalah sektor
riil yang menimbulkan
economic value
of added.
b.
Tertahannya hak si penjual yang telah
melaksanakan
kewajibannya.
c.
Adannya penahanan hak si pemilik barang.
Terkait mengenai hal itu, maka nisbah (bagi hasil)
juga bisa diterapkan. Nisbah yang dimaksud disini nisbah pendapatan aktual
bukan dengan pendapatan yang diharapkan. Dalam transaksi ini hubungan yang
terjadi adalah hubungan pemodal dengan yang memproduksi modal tersebut. jadi
dapat disimpulkan bahwasannya uang sebenarnya tidak mempunyai nilai waktu akan
tetapi waktulah yang memiliki waktu ekonomi.
3.
Cara-cara pengembangan Uang yang tidak
mengandung riba
Menurut Antonio, perbedaan mengenai
investasi dengan membungakan uang antara lain:
a.
investasi adalah kegiatan usaha yang
mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Oleh
karenannya return tidak pasti.
b.
Membungakan uang adalah kegiatan usaha
yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang
besarnya relatif lebih pasti atau tetap.
Inti dari mekanisme investasi bagi
hasil pada dasarnya terletak pada kerja sama yang baik antara Shahibul mal dengan Mudharib. kerja sama ini harus dilakukan dalam semua lini kegiatan
ekonomi yaitu, produksi, distribusi barang atau jasa. Selanjutnya terkait faktor-faktor
yang dapat diprediksikan untuk menentukan hasil investasi dimasa yang akan
datang adalah : banyaknya modal, nisbah yang disepakati, dan berapa kali modal
itu bisa diputar.
4.
Efek pengenaan Riba pada pertumbuhan
ekonomi
Dalam Islam kesejahteraan masyarakat bisa
dilihat dari seberapa banyak masyarakat mampu memenuhi kebutuhan kewajibannya
membayar zakat. Hal ini zakat berperan lebih luas dalam artian bahwasannya semakin
banyak kaum muslim yang membayar zakat maka semakin tinggi tingkat kemakmuran
masyarakat tersebut. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 276 menunjukkan suatu
hubungan terbalik antara infaq, zakat dan riba. Ayat ini mengindikasikan
implikasi fungsi hubungan terbalik dari daua variabel. Secara fungsi dapat
digambarkan:
|
Fungsi ini menunjukkan semakin besar
riba maka infak akan semakin kecil. Secara individu bunga menyebabkan kekayaan
bagi pemodal meningkat secara teori return
yang diterima dari praktek riba secara jangka panjang akan menghadapi risiko
inflasi, sehingga Purchasing power dari
uang yang bertyambah akibat return dari bunga tidak berubah atau semakin
mengecil akibat inflasi (jika penambahan pendapatan dari return lebih kecil atau sama dengan penambahan harga (inflasi).
|
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Oleh
karenannya dalam Islam mengharamkan penggunaan riba dalam ekonomi karena islam
sangat menjaga prinsip keadilan oleh karenanya Islam menganjurkan sistem bagi
hasil dimana sistem ini sangat menjaga keadilan. adapun efek sistem bagi hasil
terhadap pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:[13]
Implikasi
dampak bagi hasil dalam perekonomian.
|
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
G.
BUNGA
BANK
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun
secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertantangan dengan prinsip muamalah dalam islam.[14]
Kebatilah adlah sesuatu yang dilarang oleh Allah, perhatikan firman Allah yang
berartinya : “hai orag-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
penyayang kepadamu.[15]
Sehubungan dengan kata batil yang tersebut dalam
ayat 29 surat An-Nisaa tersebut, Ibnu Al Arabi al Maliki, dalam kitab Ahkamul
Qur’an menjelaskan : pengertian riba
secara secara bahasa adalah tambahan, tapi yang dimaksud riba dalam ayat
Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
penggati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.[16]
Transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi
bisnis atau komesial yang melegimitasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Seperti, jual bali, gadai, sewa atau bagi hasil proyek.[17]
Dalam transaksi sewa, pihak penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat
sewa yang dinikmati, termasuk menurunya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan pihak penyewa.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara
konvensional pihak pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima pihak peminjam kecuali kesempatan dari
faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Hal yang dinilai tidak adil disini adalah hak
peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti
untung setiap penggunaan kesempatan tersebut. Dan dana tersebut tidak akan
berkembang dengan sendirinya hanya faktor waktu semata tanpa ada faktor yng
menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan pun
akan menghadapi tiga peluang yaitu : untung, rugi ataupun impas.[18]
Secara ekonomi, bunga dapat dijelaskan sebagai suatu
tambahan yang digolongkan sebagai riba.
Rumus
:
Bunga
Harian = pokok dana x harian dalam sebulan x bunga/hari satu tahun
Contoh
kasus :
Pada tanggal 1 Mei 2012, Bapak Jones
membuka deposito sebesar Rp. 15.000.000, jangka waktu satu bulan, dengan
tingkat bunga 10%p.a. berapa bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo ?
Jawab
:
Bunga yang diperoleh Bapak Jones adalah :
Rp.
15.000.000 x 31 hari x 10%/365hari = Rp. 127.397,26
H.
KESIMPULAN
Pada zaman pra
islam, Riba dipraktikkan dengan memberikan tenggang waktu pelunasan hutang dan
dengan menambahkan biaya atas penundaan. Hal ini pastinya akan secara tidak
langsung akan menambah nilai hutang. Awalnya riba didomisi
oleh kaum Yahudi setelah jaman Nabi Isa, Bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan
kesengsaraan dalam sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka
suka menjalankan praktik riba dan memakan harta manusia secara batil.
Praktik-praktik serupa itu sampai kinipun masih saja dilakukan oleh bangsa
Yahudi.
Kajian tentang larangan riba didalam pandangan
Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an (2:278). Sedang riba ialah tambahan uang atas modal
yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Sedangkan bunga (Interst) adalah tanggungan pada
pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang di
pinjamkan.
Riba bisa
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : Riba Fadl, Riba Al-Yadd, dan Riba
An-Nasi’ah. Larangan
mengenai riba Al-jahiliyah, yaitu panambahan jumlah hutang bagi peminjam yang
tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo.
Dalam Islam, terutama dalam hal investasi tidaklah
menggunakan mekanisme bunga, melainkan bagi hasil yang notabennya sangat
menjunjung tinggi keadilan serta mempunyai dampak yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi bunga dapat dijelaskan sebagai suatu tambahan yang
digolongkan sebagai riba.
I.
KRITIK
DAN SARAN
Dengan
penuh kesadaran dan kerendahan hati, walaupun makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, penyusun berharap semoga dapat membawa manfaat dengan
memberikan tambahan pengetahuan bagi kami khususnya, dan umumnya bagi para
pembaca.
Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah
ini, karenanya kritik dan saran demi perbaikan malakah ini sangat kami
harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar