Minggu, 08 November 2015

Riba dan Implikasinya



 RIBA DAN IMPLIKASINYA

 A.           Latar Belakang
Dewasa ini perbincangan mengenai riba kembali mencuat, sehingga upaya melakukan usahaguna menghindari hal itu mulai dilaksanakan. Istilah mengenai riba sering dibahas dalam Islam, sehingga seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Padahal kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa dunia Kristen pun selama satu milenium riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendikiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Riba merupakan sesuatu yang tidak asing kita jumpai disekeliling kita. Sungguh tidak bisa dipungkiri bahwasannya praktek riba sudah mendarah daging dikehidupan ini bahkan merambah ke berbagai negara dan sulit diberantas keberadaannya, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Oleh karenannya dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan riba serta memberikan gambaran mengenai konsep bagi hasil yang memang secara syariah dibenarkan karena memang prinsip yang ada didalamnya menjunjung tinggi keadilan.

B.            Sejarah Riba
Pada zaman pra islam, Riba dipraktikkan dengan memberikan tenggang waktu pelunasan hutang dan dengan menambahkan biaya atas penundaan. Hal ini pastinya akan secara tidak langsung akan menambah nilai hutang. Dalam beberapa kasus hanya orang terdesak kebutuhan saja yang terus melakukannya karena ia tidak memiliki pilihan selain menunggak pelunasan hutang . Si kreditur setuju untuk menunda tagihannya dan menunggu pelunasan dengan memperoleh keuntungan yang lebih banyak atas pinjamannya.[1]
Disisi lain, si debitur terpaksa membayar jumlah yang bertambah guna menghindari tagihan yang menekan dari kreditur dan menghindari resiko. Jadi begitu waktu berjalan dan kerugian si debitur terus bertambah masalahnya bertumpuk hingga seluruh apa yang ia miliki habis diambil si kreditur.
Para ulama fiqih mulai membicarakan tentang riba, jika mereka memecahkan macam persoalan muamalah. Banyak Ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai dengan sampai ahirnya datang larangan secara tegas pada ahir periode. Penetapan hukum riba, Riba pada Agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram. Tersebut didalam perjanjian lama Kitab keluaran ayat 25 pasal 29: “Bila kamu mengutangi seseorang di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi utang, jangan kami meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”. Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu terlarang kalau dilakukan dikalangan Yahudi. Tetapi tidak di larang bila dilakukan dengan Non-Yahudi. Hal ini tersebut dalam Kitab ulangan 19 pasal 23 : “janganlah engkau membanguankan kepada soudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan’’. Demikian pula dalam Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan : “janganlah engkou mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu, supaya soudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkou beri uangmu kepadamu dengan meminta bunga, juga makananmu jangan kou berikan dengan meminta riba”.[2]
Namun Islam mengagap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang berlaku dalam golongan tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupaka ketetapan yang dipalsukan. Sebab riba ini diharamkan kepeda semua orang tanpa pandang golongan. Dalam Hadits Qudsi disebutkan: “wahai hamba-Ku! Aku mengharamkan kedhaliman kepada diri-Ku dan Aku telah tetapkan sebagai perbuatan haram di tengah kamu. Karna itu kamu jangan saliang berbuat dhalim”.
Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunannya. Karena manusia adalah hamba Allah. Namun, umat Yahudi mengagap ada perbedaan besar antara umat Yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka mengatakan dalam Al-Qur’an “kami adalah putra-putra Allah dan kekasihnya”. Orang Yahudi mengharamkan riba sesama mereka tapi menghalalkannya kalau dilakukan pada pihak lain. Hal ini yang mendorong umat Yahudi Memakan Riba dari pihak lain dan menurut Al-Quran, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai halnya memakan riba.
Menurut Muhammad Assad, dalam The Massage of the Qur’an dinyatakan, bahwa setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir’aun, bangsa Yahudi mendapatkan berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah jaman Nabi Isa, Bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktik riba dan memakan harta manusia secara batil. Praktik-praktik serupa itu sampai kinipun masih saja dilakukan oleh bangsa Yahudi.[3]
Reputasi bangsa Yahudi dalam pembangunan Uang memang sangat terkenal. Pada masa kinipun Amerika Serikat, praktik pembangunan uang oleh kelompok etnis Yahudi, diluar lembaga perbankan, koperasi masih menjadi fenomena umum. Berbeda dengan umat Yahudi, umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun Non-Nasrani. Tokoh-tokoh Gereja sepakat berpegang kepada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka.
Ketetapan semacam ini menujukkan pengharaman riba dengan tegas dalam agama Nasrani. Namun kaum priba berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak Gereja karna pengaruh ekonomi Yahudi. Akhirnya muncul anggapan dan pendapatan, bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan adminitratif dan organisasi dibenarkan. Kajian tentang larangan riba didalam pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an (2:278). Larangan tersebut dilatarbelakangi suatu peristiwa atau asbabul nuzulnya ayat yang dinyatakan: “dalam suatu riwayat bahwa turunnya ayat 278-279 (QS:2) berkenaan dengan pengaduan Banil Mughirah kepada Gubernur Mekah setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin As-yad tentang utang-utangan yang beriba ada hukum penghapus riba, kepada Banu ‘Amr bin ‘Auf dari suku Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada ‘Attab bin As-yad:”kami adalah manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba.”Maka Gubernur ‘Attab menulis surat kepada Rosulullah SAW. Yang dijawab oleh Nabi SAW sesuai dengan ayat (278-279): “akan memerangimu. Dan jika kamu berbuat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[4]
Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah datangannya hukum yang tidak memperbolehkan peraktik riba, baik dalam bentuk besar maupun kecil, maka praktik tersebut segera harus berhenti dan dinyatakan telah berahir. Sementara ada pendapatan yang menyatakan bawa ayat ini turun dengan kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, dua orang yang bernegosiasi usaha pada zaman jahiliyah.
Dengan demikian, ketetapan ayat tersebut tidak hanya terbatas hanya terbatas haramnya riba dalam kredit konsumtif, jika kita telah mengetahui bahwa sebagian besar sebagian besar kredit yang dikeluarkan pada waktu itu bersifat produktif. Oleh karna itu, kredit untuk hal-hal yang produktif dengan mengenakan riba adalah haram. Karena itu adalah lebih tepat dan sangat patut jika haramnya riba mencakup kredit konsumtif.



C.           Pengertian Bunga dan Riba
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interst. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interst is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang di pinjamkan.
Kata riba; ziydah, berarti: bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau Ar-Rima makna asalnya iyalah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambahan dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’.  Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the oct of lending monay at an exorbitant or illegal rate of interens” sementara para ulama fikih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yangtimbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan tergantung kepada pemilik uang pada saat uang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini, berlaku luas dikalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Isalam, sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.[5]
Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest”dan’usuary”yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam presentase. Istilah “usuary” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan sesuatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.


D.           Jenis-Jenis Riba Dan Hukumnya
Ulama fikih-sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i Abdul Hadi (1993) – membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan “kelebihan pada saah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’. Ukuran syara’ adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu seperempat kilogram . kelebihan1/4 kilogram tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacamini hanya berlaku dalam barter.
Riba bisa diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : Riba Fadl, Riba Al-Yadd, dan Riba An-Nasi’ah.[6] Riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, pada waktunya bisa diperpanjang dan jumlah utang bertambah pula.
Ahirnya muncul berbagai pendapat tentang dua jenis riba tersebut dikalangan para ulama fikih. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, riba fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi bukan merupakan riba fadl.

Kuadrat barang Ribawi dan Non Ribawi


Barang Ribawi
Non-Ribawi atau Ribawi Berbeda.
Barang Ribawi
Sama kualitas
Sama kuantitas
Kontan
Boleh Benda kuantitas
Beda kuantitas
Tetapi kontan
Barang Non-Ribawi
Boleh beda kualitas
Boleh beda kuantitas
Tetapi kontan
Boleh beda kualitas
Beda kuantitas
Tetapi kontan

Sementara itu mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian, bahwa ilat keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk. Dalam menetapkan ilat riba an-nasi’ah dan riba fadl pada benda-benda jenis makanan, terhadap perbedaan pendapatan ulama mazhab Maliki dengan Safi’i.
Menurut ulama Mazhab Maliki, ilat jenis makanan yang terdapat dalam riba an-nasi’ah dengan ilat yang terdapat dalam riba fadl adalah berbeda. Dalam riba an-nasi’ah, ilat pada benda jenis makanan adalah karena sifatnya bisa dikonsumsi. Apabila satu jenis makanan dijual dengan jenis makanan yang sama, maka harus satu takaran, seimbang dan adil.dengan prinsip ini maka an-nasi’ah bisa berlaku pada seluruh jenis makanan, seperti beras, gandum, semangka, dan lain-lain. Sedangkan ilat pada riba fadl menurut ulama Mazhab Maliki tidak membatasi Waktu tahan lama yang dimaksud. Alasannya adalah agar umat manusia tidak tertipu dan harta mereka terpilih dari tindakan spekulan.[7]

E.            Gambaran Terjadinya Riba
Riba karena juga termasuk dalam kategori mengambil,memperoleh atau tambahan harta dengan cara tidak benar. Ayat-ayat berikut melarang riba dengan jelas dan tegas :[8]
a)           (QS Ali Imron ayat 130)
hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dngan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
b)      (QS Annisa ayat 161)
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya meeka telah melarang dari padanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”
c)      (QS Arrum ayat 39)
dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Alla. Dan jika apa yang kamu berikan beupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang apa yang dimaksut dengan riba. Juga menerangkan alasan pelarangan riba. Lebih banyak penjelasan karena akan mendapatkan siksa yang pedih, yang lebih bersifat akhirat. Cukup banyak pula hadits yang mengecam perbuatan riba ini, diantaranya adalah hadis dari zabir, Nabi SAW mencela penerima pembayar bunga, orang yang mencatat begitu pulla yang menyaksikan transaksi dimaksud. Beliau bersabda : “ mereka semua sama-sama berada dalam berdosa.”(HR. Muslim; Tarmizi dan Ahmad)
Jelasnya, jual beli sama dengan riba. Karenanya akan menjadi sangat penting untuk dapat membedakan antara riba dan perdagangan biasa. Bisa jadi bahwa riba yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana yang dipahami saat Al-Qur’an diturunkan.  Salah satunya adalah Riba Al-jahiliyah, yaitu panambahan jumlah hutang bagi peminjam yang tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo.beberapa bahkan menyebutkan bahwa Al-Qur’an hanya merujuk pada jenis riba ini.[9]
Dalam hal ini, pelacakan lebih lanjut harus dilakukan melalui sunnah untuk memperoleh penjelasan lebih rinci. Dalam beberapa kasus, Rosullullah menjelaskan contoh – contoh pinjaman dan perdagangan yang di anggap riba. Dari usamah bin zaid, nabi SAW bersabda : “sesungguhnya riba itu bisa terjadi pada jual beli secara hutang(kredit).”(HR. Bhukori; Muslim dan Ahmad)
Dari Usammah bin Zaid, bahwasanya rosullulah bersabda: “riba tidak mungkin terjadi pada jual beli secara tunai.”(HR. Muslim :Nasai). Fadallah Bin Ubay berkata bahwa “keuntungan yang diperoleh dari pemberian pinjaman meupakan salah satu aspek dari riba.“ (Sunan Al Baihaqi).
Hadits – hadits tersebut sering ditunjuk sebagai penjelasan riba nasiah, imbala yang ditetapkan sebelumnya karena pinjaman dan alasan penangguhan pembayaran. Keterangan yang lain merujuk sebagai riba al-fadl, pertambahan karena faktor pertukaran, bukan alasan penangguhan.
Dari abu said al Khuduri, Nabi SAW bersabda : jangan melebih-lebihkan satu dengan lainya; jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan jangan melebih-lebihkan satu dengan lainya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak.” (HR Bukhari; Muslim, Tirmidzi Masai, dan Ahmad)
Dari ubada bin Sami, Nabi SAW bersabda : “emas untuk emas, perak untuk perak, gandung untuk gandum, barang siapa membayar lebih atau menerima dia telah berbuat riba. Pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa).”(HR Muslim dan Ahmad).
Pelarangan riba tidak lantas membuat utang-piutang tidak dibolehkan. Paling tidak Al-Qur’an malah memberikan tata cara melakukannya dengan adanya catatan.[10]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah secara tidak tunai untuk jangka waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dngan bena. Dan janganlah penulis enggan menuliskan sebagaimana Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia mnulis, dan hendaklah orang yang mengutang itu mengamalkan apa yang akan dituliskan itu, dan hendaklah bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang orang yang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau keadaannya sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaknya walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka boleh satu laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa seorang lagi bisa mengingatkan. Jangan saksi-saksi itu enggan member keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai waktu membayarnya.” (QS 2:282-285)
F.                 RIBA DAN MASALAH KEUANGAN (INVESTASI)
Evolusi konsep riba tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan. Lembaga keuangan timbul karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Untuk modalnya berasal dari pedagang (Shahibul Mall) Oleh karenanya pada waktu itu para bankir pada umumnya adalah pedagang. Adapun pelopor pendiri bank adalah kaum Yahudi yang selanjutnya diikuti oleh orang-orang pribumi Italia.[11]
Terkait mengenai hal itu bank pastinya mengenakan biaya untuk peminjam karena bank  juga harus membayar ongkos itu untukbisa meberikan pinjaman.Oleh karenanya ada istilah modalmurni yaitu tingkat bunga nominal dikurangi beberapa ongkos seperti biaya administrasi,jaminan terhadap keamanan utang pokok maupun bunganya serta ongkos-ongkos untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan angsuran. Semua ongkos itu dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik ongkos itu dengan tujuan menjaga menjaga amanat dari pemilik modal.
Mereka yang memiliki uang pastinya memiliki uang dalamjumlah yang kecil atau besar pasti juga menanggung beban dan resiko dengan meminjam atau menyimpan uangnya di bank. Pertama ia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan uang itu baikkonsumsi atau yang lainnya. Kedua, Nilai uang yang bisa merosot.Ketiga, Pemilikuang menanggung resiko uang tidak kembalikarena itu bank perlu memperhitungkannya, demi keamanan pemilik modal agar bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam mengelola uangnya tersebut.
Dari uraian diatas dapat dikatan bahwasannya hubungan riba dengan masalah keuangan sangat berkaitan diantarannya sebagai berikut:[12]
1.    Pandangan Islam tentang uang
               Uang merupakan benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpanan nilai semua barang. Dalam pandangan Islam menurut Ibnu Taimiyah, uang merupakan alat tukar dan alat ukur nilai. Melalui uang nilai suatu barang akan diketahui dan mereka tidak menggunakannya untuk dirinya sendiri. Dan hal itu juga dikemukakan oleh muridnya yaitu Ibn Qoyyim bahwasannya uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri tetapi dimaksudkan untuk memperoleh barang-barang.
               Selanjutnya masih terkait tentang uang Al-ghazali mengatakan bahwa uang bagaikan kaca yang tidak memiliki warna akan tetapi bisa merefleksikan semua warna jadi, uang tidaklah memilki harga anamun bisa merefleksikan harga. Melihat fungsi uang tersebut menunjukkan bahwa dalam Islam keberadaan uang dapat memberikan kegunaan kepada pemakaiannya. Oleh karenannya uang bukan merupakan suatu komoditas melainkan fungsi uang yang memberikan keguanaan.
               Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya fungsi uang menurut Islam adalah sebagai media pertukaran (transaksi), Jaga-jaga atau investasi, Satuan hitung uantuk pembayaran (Ba’i Muajjal). Uang merupakan sesuatu yang mengalir (Flow Concept) dan juga sebagai barang publik (Public goods).
2.    Pandangan Islam terkait dengan Nilai waktu uang
Dalam ekonomi islam konsep time value of money tidak akan terjadi, melainkan mengunakan konsep economic value of time jadi disini waktu yang efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan didunia dan diakhirat. Oleh karenanya pemanfaatan waktu juga harus dilandasi dengan keimanan.
Pada dasarnya bisnis tidak lepas dari return dan risk . bisnis tidak hanya mendatangkan keuntungan tanpa adanya resiko. Hal ini sudah disinggung dalam konsep time valuae of money, bahwa sebagai pengganti atas situasi ketidakpastian, maka dimunculkan konsep Discount rate.Dalam ekonomi islam penggunaan sejenis Discount rate dalam menentukan harga mu’ajjal (bayar tangguh) dapat dibenarkan. alasannya sebagai berikut:
a.                  jual beli dan sewa-menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan
economic value of added.
b.                  Tertahannya hak si penjual yang telah melaksanakan
kewajibannya.
c.              Adannya penahanan hak si pemilik barang.
Terkait mengenai hal itu, maka nisbah (bagi hasil) juga bisa diterapkan. Nisbah yang dimaksud disini nisbah pendapatan aktual bukan dengan pendapatan yang diharapkan. Dalam transaksi ini hubungan yang terjadi adalah hubungan pemodal dengan yang memproduksi modal tersebut. jadi dapat disimpulkan bahwasannya uang sebenarnya tidak mempunyai nilai waktu akan tetapi waktulah yang memiliki waktu ekonomi.
3.    Cara-cara pengembangan Uang yang tidak mengandung riba
          Menurut Antonio, perbedaan mengenai investasi dengan membungakan uang antara lain:
a.                investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Oleh karenannya return tidak pasti.
b.                Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang besarnya relatif lebih pasti atau tetap.
            Inti dari mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya terletak pada kerja sama yang baik antara Shahibul mal dengan Mudharib. kerja sama ini harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi yaitu, produksi, distribusi barang atau jasa. Selanjutnya terkait faktor-faktor yang dapat diprediksikan untuk menentukan hasil investasi dimasa yang akan datang adalah : banyaknya modal, nisbah yang disepakati, dan berapa kali modal itu bisa diputar.

4.    Efek pengenaan Riba pada pertumbuhan ekonomi
     Dalam Islam kesejahteraan masyarakat bisa dilihat dari seberapa banyak masyarakat mampu memenuhi kebutuhan kewajibannya membayar zakat. Hal ini zakat berperan lebih luas dalam artian bahwasannya semakin banyak kaum muslim yang membayar zakat maka semakin tinggi tingkat kemakmuran masyarakat tersebut. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 276 menunjukkan suatu hubungan terbalik antara infaq, zakat dan riba. Ayat ini mengindikasikan implikasi fungsi hubungan terbalik dari daua variabel. Secara fungsi dapat digambarkan:


Infaq = f (- Riba)
 
 


Fungsi ini menunjukkan semakin besar riba maka infak akan semakin kecil. Secara individu bunga menyebabkan kekayaan bagi pemodal meningkat secara teori return yang diterima dari praktek riba secara jangka panjang akan menghadapi risiko inflasi, sehingga Purchasing power dari uang yang bertyambah akibat return dari bunga tidak berubah atau semakin mengecil akibat inflasi (jika penambahan pendapatan dari return lebih kecil atau sama dengan penambahan harga (inflasi).


Text Box: i Þ Y (income) naik (P (inflasi) naik) Þ rasio Y / P tetap atau turun (D m ≤ D P)
 



Compressing Economic Growth
 
implikasi dampak riba dalam perekonomian

















Taking Or Doing Riba
 









Money Concentration & Creation
 



Inflation
 







Shrinking the Real Sector
(Barang yang tercipta < uang beredar)
 




 










Oleh karenannya dalam Islam mengharamkan penggunaan riba dalam ekonomi karena islam sangat menjaga prinsip keadilan oleh karenanya Islam menganjurkan sistem bagi hasil dimana sistem ini sangat menjaga keadilan. adapun efek sistem bagi hasil terhadap pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:[13]



Implikasi dampak bagi hasil dalam perekonomian.



















Taking Or Doing Share Base Investment
 

Economic Growth
 






Text Box: Tanpa ada risiko eksploitasi dan negative spread







Producitivity & Opportunity
 











Growing the Real Sector
 


 













G.               BUNGA BANK
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertantangan dengan prinsip muamalah dalam islam.[14] Kebatilah adlah sesuatu yang dilarang oleh Allah, perhatikan firman Allah yang berartinya : “hai orag-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.[15]
Sehubungan dengan kata batil yang tersebut dalam ayat 29 surat An-Nisaa tersebut, Ibnu Al Arabi al Maliki, dalam kitab Ahkamul Qur’an menjelaskan : pengertian riba secara secara bahasa adalah tambahan, tapi yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi penggati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.[16]
Transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komesial yang melegimitasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti, jual bali, gadai, sewa atau bagi hasil proyek.[17] Dalam transaksi sewa, pihak penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan pihak penyewa.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional pihak pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima pihak peminjam kecuali kesempatan dari faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Hal yang dinilai tidak adil disini adalah hak peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung setiap penggunaan kesempatan tersebut. Dan dana tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya faktor waktu semata tanpa ada faktor yng menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan pun akan menghadapi tiga peluang yaitu : untung, rugi ataupun impas.[18]
Secara ekonomi, bunga dapat dijelaskan sebagai suatu tambahan yang digolongkan sebagai riba.
Rumus :
Bunga Harian = pokok dana x harian dalam sebulan x bunga/hari satu tahun


Contoh kasus :
            Pada tanggal 1 Mei 2012, Bapak Jones membuka deposito sebesar Rp. 15.000.000, jangka waktu satu bulan, dengan tingkat bunga 10%p.a. berapa bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo ?
Jawab :
Bunga yang diperoleh Bapak Jones adalah :
Rp. 15.000.000 x 31 hari x 10%/365hari = Rp. 127.397,26

H.                KESIMPULAN
Pada zaman pra islam, Riba dipraktikkan dengan memberikan tenggang waktu pelunasan hutang dan dengan menambahkan biaya atas penundaan. Hal ini pastinya akan secara tidak langsung akan menambah nilai hutang. Awalnya riba didomisi oleh kaum Yahudi setelah jaman Nabi Isa, Bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktik riba dan memakan harta manusia secara batil. Praktik-praktik serupa itu sampai kinipun masih saja dilakukan oleh bangsa Yahudi.
Kajian tentang larangan riba didalam pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an (2:278).  Sedang riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Sedangkan bunga (Interst) adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang di pinjamkan.
Riba bisa diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : Riba Fadl, Riba Al-Yadd, dan Riba An-Nasi’ah. Larangan mengenai riba Al-jahiliyah, yaitu panambahan jumlah hutang bagi peminjam yang tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo.
Dalam Islam, terutama dalam hal investasi tidaklah menggunakan mekanisme bunga, melainkan bagi hasil yang notabennya sangat menjunjung tinggi keadilan serta mempunyai dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi bunga dapat dijelaskan sebagai suatu tambahan yang digolongkan sebagai riba.

I.                   KRITIK DAN SARAN
            Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, walaupun makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, penyusun berharap semoga dapat membawa manfaat dengan memberikan tambahan pengetahuan bagi kami khususnya, dan umumnya bagi para pembaca.
            Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, karenanya kritik dan saran demi perbaikan malakah ini sangat kami harapkan.


[1] Abdullah Saeed, Menyoal bank syariah, (Jakarta : Paramadina, 2004) hal. 36-37.
[2]Muhamad, Manajemen Keuanagan Syariah, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN, 2014),hal. 133.
[3] Ibid., hal. 134
[4]Ibid.,  hal. 135
[5]Ibid., hal. 136
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah 2010) hal. 217
[7] Muhammad, Manajemen Keuangan syariah,.. hal. 138
[8] Ibid., hal. 139
[9] ibid., hal.140
[10] Ibid. hal. 141
[11] Ibid. hal. 142
[12] Ibid., hal. 143
[13] Ibid., hal 149
[14] Ibid., hal. 150
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hal. 151
[18] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar