Kebijakan Deviden dalam Manajemen Keuangan Syariah
A.
PENGERTIAN
DIVIDEN
Kebijakan dividen merupakan persentase laba yang
dibayarkan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen tunai, penjagaan
stabilitas dividen dari waktu ke waktu, pembagian dividen saham, dan pembelian
kembali saham. Rasio pembayaran dividen (dividend pay out ratio), ikut
menentukan besarnya jumlah laba yang ditahan perusahaan harus dievaluasi dalam
kerangka tujuan pemaksimalan kekayaan para pemegang saham.[1] Dividen adalah pembagian laba dari perusahaan kepada pemegang
saham. Bagi perusahaan sendiri, dividen merupakan salah satu bukti bahwa
reputasi perusahaan tersebut masih baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dividen
dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:[2]
1.
Dividen
tunai, laba yang dibagikan berupa uang tunai.
2.
Dividen
saham, laba yang dibagikan berupa saham yang menyebabkan bertambahnya jumlah
saham yang dimiliki oleh pemegang saham.
3.
Dividen
properti, pemakaiannya jarang dipergunakan.
Secara umum perusahaan justru membagikan
dividen secara tunai dan dalam bentuk saham. Pembagian dividen dalam bentuk
saham merupakan salah satu bentuk variasi saja dari pembagian dividen secara
keseluruhan. Pembagian dividen dalam bentuk saham atau yang lebih dikenal
dengan nama dividen saham memiliki nilai plus tersendiri, yaitu para pemegang
saham memiliki tambahan saham yang itu artinya kepemilikan mereka terhadap
perusahaan juga akan bertambah. Namun dengan dividen tunai, porsi kepemilikan
pemegang saham terhadap perusahaan masih tetap dan tidak berubah.
Sedangkan pembagian dividen dalam bentuk
saham, investor tidak bisa menikmati uang hasil dividen tersebut, namun dari
segi kepemilikan investor memiliki nilai tambah karena kepemilikan terhadap
perusahaan berubah yaitu menjadi bertambah banyak. Pembagian dividen bentuk
tunai maupun saham, menbagikan dividen atau tidak membagikannya, dalam bentuk
apa dividen akan dibagikan, dan bagaimana pembagiannya, semua itu adalah
kebijakan perusahaan dan tidak ada yang bisa membatalkannya.
B.
DIVIDEN
DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Kerjasama dalam bentuk syirkah amwal biasanya dikenal dengan
syirkah musahammah. Syirkah musahammah adalah penyertaan modal
usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar
modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat.
Sehubungan dengan hal ini, al-Mishri menegaskan bahwa pertanggung jawaban
pemegang saham sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, keuntungan dan
kerugian yang diterima oleh pemegang saham sebanding dengan jumlah saham yang
dimiliki. Saham dari segi manfaat non-finansial dibedakan menjadi dua, yaitu:[3]
1.
Saham
biasa, saham yang pemiliknya tidak memperoleh hak istimewa, tetapi pemiliknya
mempunyai:
a)
Hak
dividen, jika perseroan memperoleh keuntungan.
b)
Hak
suara, rapat umum pemegang saham (RUPS) sesuai dengan jumlah saham yang
dimilikinya (One Man One Vote).
c)
Hak
memperoleh sebagian dari kekayaan setelah kewajiban dilunasi dalam hal
perseroan dilikuidasi.
2.
Saham
preferen, saham yang pemiliknya berhak didahulukan (diistimewakan) untuk
mendapatkan dividen atau bagian kekayaan dalam RUPS.
Syirkah musahamah, bermanfaat untuk pengembangan bisnis karena saham disebar dalam
jumlah besar, modal syarik (orang yang ber-syirkah) tidak berubah karena
keluarnya pemegang saham lama (dengan cara dijual) atau masuknya pemegang saham
baru (dengan cara membeli). Dilakukannya syirkah musahamah untuk
menciptakan kesejahteraan umum (bukan hanya kesejahteraan pemegang saham).
Al-Mishri menilai bahwa syirkah musahamah adalah salah satu instrumen dari
ekonomi liberal. Kalangan ulama’ berbeda pendapat tentang hukum kebolehan Syirkah
musahamah.
Kelompok pertama,
tidak memperbolehkan karena terjadi pengalihan dari individu syarik ke
dalam jumlah kepemilikan saham dalam hal menentukan arah perusahaan termasuk
menentukan pihak pengelola/direksi dan/atau istilah lain yang berlaku di lembaga-lembaga
bisnis. Kelompok kedua, memperbolehkan selagi kegiatan usaha yang
dijalankan tidak dalam bentuk yang dilarang yaitu;
1)
Obyek
yang haram seperti khamr dan babi,
2)
Cara
usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan perjudian.
Hal ini didasarkan pada kaidah fiqh yang
menyatakan: al-ashl fi al-ibahah – hukum asal dalam mu’amalah adalah
boleh – dan kaidah al-muslimun ‘ala syuruthihim – umat islam terikat dengan
akad yang telah disepakatinya. Pelaksanaan Syirkah musahamah harus tunduk
pada kriteria (dhawabith) berikut:
a)
Apabila
harta yang di-syirkah-kan berupa modal yang dinilai dengan uang secara
tunai, maka perpindahan kepemilikan saham dilakukan dengan akad sharf (pertukaran
uang).
b)
Apabila
harta yang di-syirkah-kan berupa utang, maka hukum yang berlaku adalah
hukum utang; yaitu utang tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual
karena menjual piutang dilarang oleh syari’ah;
c)
Apabila
modal yang di-syirkah-kan berupa barang dagangan atau manfaat, maka
tidak ada halangan untuk memindahtangankan dengan cara dijual, dan
keuntungannya boleh diterima secara tunai (tidak boleh dengan cara tangguh)
d)
Apabila
modal yang di-syirkah-kan berupa barang dagangan, manfaat, uang dan
utang yang disatukan, maka yang dijadikan pasar hukum adalah hukum barang
dagangan dan manfaat, yaitu boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, dan
keuntungannya boleh diterima secara tunai (tidak boleh dengan cara tangguh).
Orang atau
badan hukum yang ber-syirkah membentuk persekutuan perdata. Persekutuan perdata
setidaknya mmiliki tiga unsur yaitu:[4]
1)
Persetujuan
timbal balik sebagai dasar pendirian.
2)
Adanya
penyertaan, yaitu masing-masing sekutu diwajibkan menyertakan uang,
barang-barang dan lainnya atau keahliannya ke dalam persekutuan. Wujud
penyertaan dapat berupa: uang, barang, dan tenaga baik fisik maupun
ide/gagasan/pikiran.
3)
Tujuannya
adalah membagi keuntungan di antara orang/ pihak yang terlibat.
Sesuai denagan spirit syirkah, bahwa
syirkah termasuk dalam akad mu’awadhat yang tujuannya adalah mencari untung.
Dengan demikian, pihak-pihak yang melakukan syirkah berarti melakukan kegiatan
bisnis yang bertujuan memperoleh keuntungan. Dividen merupakan bagian dari
keuntungan usaha yang dibagikan kepada para pihak yang ber-syirkah, merupakan
suatu hal yang dapat dilakukan dan dibolehkan oleh syari’ah. Untung dan rugi
atau dapat dividen atau tidak mendapat deviden merupakan konsekuensi ekonomi
yang didapat oleh para pihak yang ber-syirkah. Perhatikan Firman Allah yang
artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”.Dengan
demikian, pola kebijakan deviden merupakan kebijakan yang memang harus
dilakukan pula untuk entitas syari’ah.
C.
MAKNA
KEBIJAKAN DIVIDEN
Kebijakan dividen merupakan rencana tindakan yang harus diikuti dalam
membuat keputusan dividen. Suatu
perusahaan akan tumbuh dan berkembang dan pada waktunya akan memperoleh
keuntungan atau laba. Laba disini terdiri dari laba ditahan dan laba yang
dibagikan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling penting
untuk pembiayaan pertumbuhan perusahaan. Semakin besar pembiayaan perusahaan
yang berasal dari laba ditahan ditambah penyusutan aktiva tetap, maka semakin
kuat pula posisi financial perusahaan tersebut. Kemudian, seluruh laba yang
diperoleh perusahaan sebagian dibagikan kepada pemegang saham berupa dividen.
Perusahaan dengan kemampuan tingkat laba yang tinggi dan prospek kedepan yang
cerahlah yang mampu membagikan dividen. [5]
Banyak perusahaan yang selalu mengkomunikasikan bahwa
perusahaannya memiliki prospektif dan
menghadapi masalah keuangan pasti akan kesulitan untuk membayar dividen. Dengan
begitu akan berdampak pada perusahaan yang membagikan dividen, memberikan tanda
pada pasar bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek kedepan yang cerah dan
mampu untuk mempertahankan tingkat kebijakan dividen yang telah ditetapkan pada
periode sebelumnya. Perusahaan yang memiliki prospek kedepan yang cerah, akan
memiliki hara saham yang semain tinggi.
Evaluasi pengaruh rasio pembayaran dividen terhadap kekayaan
pemegang saham dapat dilakukan dengan melibatkan kebijakan dividen perusahaan
sebagai keputusan pendanaanyang melibatkan laba ditahan. Setiap periode,
perusahaan harus memutuskan apakah laba yang diperoleh akan ditahan atau
diditribusikan sebagian atau seluruhnya pada pemegang saham sebagai dividen.
Sepanjang perusahaan memiliki proyek investasi dengan pengembalian melebihi
yang diminta, perusahaan akan menggunakan laba untuk mendanai proyek tersebut.
Namun, jika terdapat kelebihan dana setelah digunakan untuk mendanai seluruh
kesempatan investasi yang diterima, kelebihan itu akan didistribusikan kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen kas. Jika tidak ada kelebihan, maka dividen
tidak akan dibagikan.
Pengumuman dividen merupakan salah satu informasi yang akan
direspon oleh pasar. Pengumuman dividen dan pengumuman laba pada periode
sebelumnya adalah dua jenis pengumuman yang sering digunakan oleh para manajer
untuk menginformasikan prestasi dan prospek perusahaan. Dalam menentukan jumlah
kas yang akan dibagikan kepada pemegang saham, manajer keuangan harus ingat
bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalkan pemegang saham sehingga rasio
pembayaran yang ditargetkan (target payout ratio) yang didefinisikan
sebagai persentase dari laba bersih yang
harus dibayarkan sebagai dividen tunai dan sebagian besar harus didasarkan pada
preferensi investor atas dividen lawan keuntungan modal.
Preferensi ini dapat dipertimbangkan dalam pengertian model
penilaian saham dengan pertumbuhan konstan :
D1
Po
Ks - g
Jika perusahaan
menaikkanrasio pembagian, D1 akan naik. Kenaikan dalam pembilang ini
saja akan mengakibatkan harga saham naik. Namun jika dividen tunai meningkat,
makin sedikit dana yang setia untuk direinvestasi, sehingga tingkat pertumbuhan
yang diharapkan akan rendah untuk masa mendatang dan akan menekan harga saham.
Dengan demikian, kebijakan dividen yang optimal dalam perusahaan adalah
kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan
pertumbuhan dimasa mendatang yang memaksimumkan
harga saham.
D.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DIVIDEN
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan manajer perusahaan terkait dengan
penerapan kebijakan dividen. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen yaitu:[6]
1. Undang-undang
Undang-undang menetapkan bahwa dividen harus dibayar dari laba, baik laba
tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada di pos “laba ditahan” dineraca.
Peraturan pemerintah menekankan tiga hal diantaranya:
a. Peraturan laba bersih. Menyatakan bahwa
dividen dapat dibayarkan dari laba sat ini atau tahun lalu.
b. Larangan pengurangan modal, melindungi pemberi
kredit karena adanya larangan untuk membayar dividen dengan mengurangi modal
(membayar dividen dengan modal akan berarti membagi modal suatu perusahaan
bukan membagikan laba)
c. Peraturan kepailitan, menyatakan bahwa
perusahaan tidak dapat membayar dividen pada saat pailit.
Peraturan-peraturan hukum itu sangat besar
artinya, karena merupakan kerangka kerja untuk merumuskan kebijakan dividen.
Namun didalam batas-batas tertentu, faktor-faktor keuangan dan ekonomi
mempunyai pengaruh besar pula terhadap kebijakan dividen.[7]
2. Posisi likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang dibutuhkan
dalam menjalankan usaha. Laba ditahan tahun-tahun lalu sudah diinvestasikan
dalam bentuk aktiva (mesin, peralatan, bahan persediaan dll) dan tidak disimpan
dalam bentuk kas (uang tunai). Oleh karena itu suatu perusahaan yang
keuntungannya luar biasa sekalipun, mungkin saja tidak dapat membayarkan
dividen karena keadaan likuiditasnya. Perusahaan yang sedang tumbuh, biasanya keuntungannya besar, tetapi biasanya
perusahaan tersebut kekuangan dana. Dalam situasi seperti itu, perusahaan akan
memutuskan untuk tidak membayarkan dividen dalam bentuk tunai.
3. Pembatasan dalam perjanjian utang
Perjanjian utang, khususnya utang jangka panjang seringkali membatasi
kemampuan perusahaan untuk melindungi kedudukan pemberi pinjaman, biasanya
menyatakan bahwa:
a. Dividen dimasa mendatang hanya dapat dibayar
dari laba yang diperoleh sesudah penandatangan perjanjian utang, jadi dividen
tidak dapat dibayarkan dari laba ditahan tahun-tahun lalu.
b. Dividen tidak dapat dibayarkan apabila modal
bersih berada dibawah suatu jumlah yang telah ditentukan.
4. Tingkat ekspansi aktiva
Semakin cepat perusahaan itu berkemabang, semakin besar kebutuhan untuk
membiayai ekspansi aktivanya. Bila kebutuhan dana dimasa depan semakin besar
perusahaan cederung untuk menahan laba daripada membayarkannya. Apabila
perusahaan mencari dana luar, maka sumbernya adalah pemegang saham saat itu
yang mengetahui keadaan perusahaan. Tetapi jika laba dibayarkan sebagai dividen
dan terkena pajak penghasilan yang tinggi, maka hanya sebagian saja yang
tersisa untuk reinvestasi.
5. Tingkat laba dan stabilitas laba
Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif
untuk membayar laba tersebut dalam bentuk dividen kepada pemegang saham atau
menggunakannya diperusahaan. Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil
seringkali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan datang.
Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan laba dengan persentase
yang lebih tinggi.
6. Akses kepasar modal
Suatu perusahaan yang besar dan telah berjalan baik, mempunyai catatan
profitabilitas dan stabilitas akan mempunyai akses yang mudah kepasar modal dan
mempunyai bentuk lain dari pendanaan. Perusahaan yang sudah mapan akan memberi
tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi dibandinngkan dengan perusahaan
kecil atau masih baru.
7. Pajak atas laba yang diakumulasikan secara
salah
Untuk mencegah pemegang saham hanya menggunakan perusahaan sebagai suatu “perusahaan
penyimpan utang” yang dapat digunakan untuk menghindari tarif penghasilan
pribadi yang tinggi, peraturan perpajakan perusahaan menentukan suatu pajak
tambahan khusus terhadap penghasilan yang diakumulasikan secara tidak benar.
Adapun kendala yang dihadapi manajemen
dalam pembagian dividen adalah karena adanya hal-hal sebagai berikut:
1) Kontrak utang, biasanya membatasi pembagian
dividen dari laba yang dihasilkan setelah pinjaman diberikan. Kontrak utang
seringkali mengisyaratkan bahwa tidak ada dividen yang dapat dibagikan kecuali
kalau rasio lancar, rasio kemampuan membayar bunga dan rasio-rasio pengaman
lain melebihi batas minimum yang ditetapkan.
2) Pembatasan saham preferen, biasanya, dividen
saham biasa tidak dapat dibayarkan jika perusahaan belum membayarkan dividen
untuk saham preferennya. Dividen saham preferen yang tertunggak harus dilunasi
sebelum dividen saham biasa dibayarkan.
3) Ketidakcukupan laba, pembayaran dividen tidak
boleh melebihi “aba yang ditahan” pada pos neraca.
4) Ketersediaan kas, dividen tunai dapat
dibagikan hanya dengan uang kas. Jadi, kekurangan kas dibank-bank dapat
membatasi pembagian dividen. Akan tetapi, hal itu bisa diatas apabila
perusahaan memperoleh pinjaman.
5) Denda pajak atas penahanan laba yang tidak
wajar. Untuk mencegah agar orang kaya tidak menggunakan perusahaan untuk
menghindari pajak pribadi, pratura pajak membuat ketentuan khusus mengenai
penimbunan penghasilan yang tidak wajar. Jadi, apabila rektorat pajak dapat
menunjukkan bahwa rasio pembayaran dividen perusahaan sengaja dibuat rendah untuk menolong para pemegang
saham menghindari pajak pribadi, perusahaan tersebut akan dikenakan denda yang
berat.
E.
KEPUTUSAN
KEBIJAKAN DIVIDEN
Beberapa alasan dalam keputusan kbijakan
deviden yang diambil bersama ialah ketidaksamaan informasi, sehingga
mempengaruhi tindakan-tindakan manajemen dengan dua cara, yaitu:[8]
a. Secara umum, manajer
tidak ingin menerbitkan saham biasa yang baru, yaitu:
1) Saham baru
melibatkan biaya penerbitan
2) Manajer lebih
menyukai menggunakan laba ditahan sebagai sumber utama ekuitas baru.
b. Perubahan deviden
memberikan isyarat tentang keyakinan manajer dan juga prospek perusahaan di
masa depan.
F.
TEORI
KEBIJAKAN DIVIDEN
Dalam pemberian deviden terhadap para pemegang
saham, manajer perusahaan akan melakukan berdasarkan teori-teori yang diyakini.
Adapun teori kebijakan deviden dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kebijakan Deviden
Tanpa Pajak
Kebijakan deviden
tanpa pajak hanya bersifat teori dan tidak dapat diaplikasikan dalam dunia
nyata saat ini, kebijakan deviden dengan memasukkan unsur pajak, yaitu pajak
pribadi dan perusahaan. Asumsi yang digunakan adalah:[9]
a. Pasar modal yang
sempurna dan semua investor adalah rasional, informasi tersedia semua tanpa biaya,
termasuk biaya transaksi dan investor besar tidak cukup untuk mempengaruhi
harga pasar sekuritas,
b. Tidak ada biaya
pengembangan pada saat pengeluaran sekuritas,
c. Tidak ada pajak
d. Penentuan kebijakan
investasi perusahaan tidak berubah
e. Investor saat ini
merasa yakin terhadap investasi dan keuntungan perusahaan di masa yang akan
datang
Menurut
Muhammad, kebijakan deviden tanpa pajak didasarkan pada Asumsi:[10]
1) Perusahaan tidak
mempunyai utang
2) Tidak ada pajak
3) Arus kas koperasi
(NOI(t))
4) Rencana investasi (I(T))
sama.
Maka
tingkat pengembalian dalam satu periode, ku untuk saham adalah:
Ku(t+1)= di(t+1) + pi(t+1) –pi(t)
Pi(t)
Dimana:
ku(t+1) = biaya modal untuk suatu perusahaan unlevered pada periode t
di(t+1) = deviden per saham
yang dibayarkan pada akhir periode i
pi(t+1) = harga per saham pada
akhir periode t
pi(t) = harga per saham pada permulaan periode t
2. Kebijakan Deviden
yang Terkena Pajak
Dalam Kebijakan yang
terkena pajak, diperkirakan ada tiga jenis tarif pajak:
1) Tarif pajak
proporsional (TC)
2) Tarif pajak
penghasilan pribadi dari obligasi, deviden, dan upah (Tp)
3) Pajak keuntungan
modal (Tg)
Sepanjang (TP>Tg),
maka pemegang saham akan lebih menyukai perusahaan yang tidak membayarkan
deviden. Mereka akan lebih untung jika dana tetap pada perusahaan atau
dibayarkan melalui pembelian kembali saham yang beredar. Dengan demikian mereka
membayar pajak atas keuntungan modal, yang lebih rendah daripada pajak
penghasilan biasa.
Jika perusahaan membayar semua arus kasnya
sebagai deviden, pemegang saham ke-I akan menerima sesudah pajak, Ydi
=[11]
Ydi =
[(NOI-RdC) (1-Tc) – rDpi] (1-Tpi)
Dimana:
Ydi = arus penghasilan sesudah pajak
NOI = arus operasi perusahaan
R = suku bunga pinjaman
Dc = utang perusahaan
Dpi = utang pribadi individu
Jika
perusahaan tidak membayar deviden, diasumsikan semua keuntungan modal dinikmati
oleh penanam modal dan terkena tariff pajak keuntungan modal, maka:
Ygi = (NOI-rDc)
(1-Tc) (1-Tgi) – rDpi (1-Tpi)
Dimana:
Ygi = tarif pajak keuntungan modal
KESIMPULAN
Dividen adalah pembagian laba dari perusahaan kepada pemegang
saham. Bagi perusahaan sendiri, dividen merupakan salah satu bukti bahwa
reputasi perusahaan tersebut masih baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Secara
umum perusahaan justru membagikan dividen secara tunai dan dalam bentuk saham.
Pembagian dividen dalam bentuk saham merupakan salah satu bentuk variasi saja
dari pembagian dividen secara keseluruhan.
Sedangkan Syirkah musahammah adalah penyertaan modal usaha
yang dihitung dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar modal
sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat. Sehubungan
dengan hal ini, al-Mishri menegaskan bahwa pertanggung jawaban pemegang saham
sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, keuntungan dan kerugian yang diterima
oleh pemegang saham sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki.
Suatu perusahaan akan tumbuh dan berkembang dan pada waktunya akan
memperoleh keuntungan atau laba. Laba disini terdiri dari laba ditahan dan laba
yang dibagikan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling
penting untuk pembiayaan pertumbuhan perusahaan. Semakin besar pembiayaan
perusahaan yang berasal dari laba ditahan ditambah penyusutan aktiva tetap,
maka semakin kuat pula posisi financial perusahaan tersebut. Kemudian, seluruh
laba yang diperoleh perusahaan sebagian dibagikan kepada pemegang saham berupa
dividen. Perusahaan dengan kemampuan tingkat laba yang tinggi dan prospek
kedepan yang cerahlah yang mampu membagikan dividen
[2]
Muhammad, Manajemen Keuangan Syariah,(Yogyakarta: UPP STIM
YKPN,2014).,hlm.536.
[3] Ibid.,hlm.537.
[5] Ibid.,hlm.539.
[6] Ibid.,hlm.541.
[8] Muhammad, “Manajemen
Keuangan Syari’ah”, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN:November 2014)., hal.543.
[9] Husnan, Suad, “Manajemen Keuangan , Edisi Ke Lima”, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN:
2006)., hal. 87
[11] Ibid., hal. 544
gan ijin copy ya.. :)
BalasHapuska minta tolong bikinin contoh soalnya dong
BalasHapus