Minggu, 08 November 2015

Harta, Akad, Larangan Transaksi



HARTA, AKAD, LARANGAN TRANSAKSI

A.           MANAJEMEN HARTA DALAM ISLAM
Manusia hidup dibumi mempunyai banyak kebutuhan. Manusia bekerja dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan sesuatu yang dirasa menjadi kebutuhannya. Tidak jarang, manusia harus bersaing, berkompetisi, dan berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk mendapatkan sesuatu itu. Sesuatu itu adalah harta. Dengan harta manusia akan dapat memenuhi segala kebutuhannya.[1] Kadang-kadang harta menjadi suatu kebanggaan apabila manusia memiliki banyak harta meskipun masih belum terasa keperluannya untuk memenuhi kebutuhan pasa suatu waktu tertentu.[2]
Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti dengan pengelolaan kekayaan/harta (wealth management). Pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta.nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan pengelolaan kekayaan/harta, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau mengoptimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaan yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya, harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.[3]

Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelolah hartanya berdasarkan syariah islam akan berorientasi utama pada dua hal, yaitu:
1.    Pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai manusia.
2.    Pemanfaatan harta harta tersebut bagi manusia diluar keluarga atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shalel sebagai alat dalam rangka mendapatkan kemuliaan dari Tuhan.

Contoh dari kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, sahabat dan para wali. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlasnya untuk manusia lain, untuk umat, dan untuk Tuhan. Seorang diantara mereka pernah berkata: [4]
”Manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”

Islam sangat mengajukan kepada manusia untuk bertebaran dimuka bumi ini untuk mencari karunia Allah (rizki) dengan cara bekerja.[5] Harta tidak hanya terbatas pada aspek materi saja tetapi juga mencakup aspek manfaat. Harta dalam tinjauan manfaat ini dapat dipahami bahwa apabila seseorang hanya mengambil manfaat atau kegunaan dari suatu benda.[6]
1.    Unsur-unsur yang dimiliki oleh harta, yaitu:
a.       Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata.
b.    Dapat disimpan untuk dimiliki.
c.    Dapat dimanfaatkan.
d.   Kebiasaan masyarakat memandangnya sebagai harta.

2.    Fungsi harta
Harta dipelihara manusia karena dia membutuhkan manfaat tersebut, harta memiliki fingsi yang banyak baik kegunaan dalam hal baik, maupun dalam hal jelek. Ketika harta itu diarahkan kepada sektor yang benar dan sesuai dengan etika agama, maka dapat diklasifikasikan empat fungsi dan pembelanjaan harta, yaitu:[7]
a.    Fungsi material
Fungsi pembelanjaan harta yang bersifat material adalah fungsi yang duikembalikan kepada harta itu sendiri. Dalam proses pencarian harta bisa jadi terdapat hal-hal yang secara tidak sengaja manusia melakukan sesuatu yang melanggar etika agama sehingga harta itu menjadi “kotor” secara hakikat.
b.    Fungsi individual
Harta yang dibelanjakan kejalan yang benar dapat memberikan nilai positif bagi pemiliknya.
c.    Fungsi ritual
Fugsi ritual berarti berarti sedekah harta itu tidak saja meningkatkan nilai ritual bagi pelakunya dengan memberikan banyak pahala, membekali investasi untuk kehidupan di akherat dan memberikan jaminan terhindar dari api neraka.
d.   Fungsi sosial
Fungsi sosial adalah fungsi yang memanfaatkan dialamatkan kepada kehidupan manusia sendiri (masyarakat) di dunia. Pembelanjaan harta untuk orang-orang yang fakir dan miskin adalah sikap yang sangat mulia. Sikap itu dapat membantu dan memotivasi kaum yang kesulitan ekonomi untuk dapat mensejakterakan tercipta secara merata.

B.            PEDOMAN MANAJEMEN HARTA DALAM SYAR’I
Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan kekayaan secara islam. Pedomannya dapat dilihat dari aspek:
1.    Mencari harta
Kecintaan manusia terhadap harta tersebut memang dibenarkan oleh Islam. Hanya saja dalam kaitannya harta tersebut, Islam bemberikan nilai kesadaran yang mendasar yang bersifat sangat maslahat bagi kepentingan manusia secara keseluruhan yang dibangun atas paradigma pemahaman bahwa harta itu sejatinya milik Tuhan.[8] Dalam banyak ayat al-Qur’an menyatakan pelarangan bagi manusia untuk mencari harta dengan cara yang bathil[9], menganjurkan agar mengkonsumsi makan yang halal dan yang baik, berusaha dengan cara jual beli bukan riba[10]. Harta yang kita peroleh juga harus yang baik bukan yang haram.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mencari harta dalam pandangan islam adalah:[11]
a.    Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujuan untuk Allah (halal dan Thayib).
b.    Mendukung ibadah dan amal shaleh bukan menghambat ibadah dan amal shaleh.
c.    Mempertimbangakan optimalisasi kntribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi dahkwah, masyarakat, dan keluarga.

2.    Membelanjakan harta
Adapun hal yang perlu dalam membelanjakan harta dalam pandangan islam, adalah:
a.    Mempertimbangkan kebutuhan dasar.
b.    Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi amal shalel: kepentingan dakwah dan masyarakat.
c.    Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak.

3.    Menyisihkan harta
Manajemen harta adalah mengatur harta untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, dua aktifitas ini adalah cara-cara yang digunakan dalam memenejemen harta, yaitu:

a.    Menabung
1.    Kebutuhan (bukan keinginan) dimasa depan.
2.    Kebutuhan sekarang yang mendesak.
3.    Tidak bermotif menumpuk harta.

b.  Invrstasi/usaha
1.    Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah SWT.
2.    Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang memaksimalkan bagi manusia lain: lingkungan keluarga dan masyarakat.
3.    Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi umat) dan dakwah.

Aktivitas pengelolahan harta juga harus didasari oleh prinsip keyakinan bahwa setiap jarta yang dibelanjakan dijalan Allah akan dilipatgandakan balasanya, baik berupa pahala maupun balasan harta materil. Keyakinan ini pula yang nantinya pada pembahasan pengelola kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi sangat penting. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam islam adalah menginfakkannya dijalan Allah. Itulah logika ekonomi islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya.

C.            AKAD DALAM KEUANGAN SYARI’AH
Gambaran hukum dalam islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah adalah tercangkup dalam bentuk kontrak (akad) dan bentuk instrument keuangan. Akad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti didalam aqad masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Akad telah disepakati secara rinci dan spesifik tentang waktu dan kondisinya. Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.

Didalam fiqh muamalah, pembahasan akad berdasarkan segi ada atau tidak adanya kompensasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:[12]
1.    Aqad tabarru’
Aqad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba atau transaksi yang tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru’ adalah untuk aktivitas tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam aqad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah WST, bukan dari manusia. Aktifitas yang tergolong dalam aqad tabarru’.
a.    Meminjamkan uang
Aktivitas meminjamkan uang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.    Meminjamkan harta atau pinjaman (qard).
2.    Meminjamkan harta dengan diberikan agunan oleh si peminjam atau gadai (rahn).
3.    Meminjamkan harta untuk mengambil alih pinjaman dari pihak lain disebut pengalihan hutang (hiwalah).

b.    Meminjamkan jasa
Aktifitas meminjamkan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.    Meminjamkan jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain disebitu wakalah.
2.    Memberikan jasa untuk memelihara uang atau barang disebut wadi’ah.
3.    Memberikan jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu disebut kafalah.

c.    Memberikan sesuatu
Aktivitas memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara hibah, shadaqah, infak, waqaf, dan hadiah.
Jadi, Fungsi aqad tabarru’ adalah untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bila tujuannya adalah mendapatkan laba, gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yaitu tijarah.

2.    Aqad tijarah
Aqad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut keuntungan. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, hasil atau keuntungan kadang dapat dipastikan kadang tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

a.    Natural Certainty Contracts (NCC)
Natural Certainty Contracts atau kontrak yang memberikan hasil pasti adalah kontrak yang dilakukan oleh kedua pihak untuk saling mempertukarkan asset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus ditetapkan diawal akad dengan pasti, baik jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya. Jadi kontrak-kontrak ini secara sunnatullah menawarkan keuntungan yang tetap dan pasti. Jenis kontrak ini adalah kontrak jual beli (Al-Ba’I, Salam, dan Istishna’) , upah-mengupah, sewa-menyewa (Ijarah).
Dalam akad-akad diatas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya. Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri, sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada pencampuran asset.

b.    Natural Uncertainty Contract (NUC)
Natural Uncertainty Contract atau kontrak yang tidak memberian hasil pasti, adalah kontrak yang terjadi jika pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama untuk mendapatkan keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama, yang termasuk didalam kontrak ini adalah
1.    Musyarakah terdiri atas wujuh, ‘inah, abdan, mufawadhah, mudharabah.
2.    Mizara’ah.
3.    Musaqah
4.    Muqhabarah.

D.           TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM SYARIAH
Dalam ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.

1.    Syari’ah dan keuangan
Rasulullah secara tegas menyatakan dalam sabdanya, bahwa perdagangan (bisnis, berusaha) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Namun harus dipahami, bahwa praktik-praktik bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran memberikan kategori usaha yang diperbolehkan (halal) dan usaha yang dilarang (haram).
Umat islam perlu mengembangkan dan menjalankan aktivitas ekonomi, keuangan, dan perbankan berbasis syariah. System ekonomi, keuangan dan perbankan berbasis bunga atau konvensional mengandung beberapa kelemahan, yaitu:[13]
a.    Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
Dalam bisnis, bagi hasil dari setiap perusahaan selalu tidah pasti, peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi.. meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan dengan norma keadilan dalam islam.

b.    Tidak fleksibelnya system transaksi bunga menyebabkan kebangkrutan.
Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang makin menyulitkan upaya pemulihan ekonomi dan penderitaan seluruh masyarakat.

c.    Komitmen bank untuk menjaga keamanan yang deposan beserta bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya.
Oleh karena itu, demi keamanan, mereka hanya mau menjaminkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat berharga. Jadi semakin banyak pinjaman yang hanya diberikan kepada usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan untuk memulai usahanya. Hal ini menyebabkan tidah seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat islam.

d.   Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba teknik dan produk baru karena mereka punya xadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil. Sebaliknya, usaha kecil tidah dapat mencoba ide baru karena untuk mereka harus meminjam dana berbunga dari bank. Bila gagal, tidak ada jalan lagi bagi mereka kecuali harus membayar kembali pinjaman berikut unganya dan bangkrut. Hal ini terjadi terutama pada para petani, jadi bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk keseimbangan pendapatan.

e.    Dalam system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.
Setiap rencana bisnis yang diajukan kepada merekaselalu diukur dengan criteria. Jadi, bank bekerja dengan system ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha yang beguna bagi masyarakat dan pekerja. Sistem ini menyebabkan salah letak sumber daya dalam masyarakat islam.

Dari beberapa kelemahan sistem konvensional tersebut, maka perbankan syariah diharapkan mendapat kebebasan dalam mengembangkan produknya sendiri, sesuai dengan teori perbankan syariah . jika kebebasan ini dapat diwujudkan maka secara ideal akan memberikan manfaat bagi:
a.    Terpeliharanya aspek keadilan bagi para pihak yang bertransaksi.
b.    Lebih menguntungkan disbanding perbankan konvensioanl.
c.    Dapat memelihara kestabilan nilai tukar mata uang karena selalu terkait dengan transaksi riil, bukan sebaliknya.
d.   Transparan menjadi sifat yang melekat.
e.    Memperluas aplikasi syariah dalam kehidupan masyarakat muslim.

2.    Prinsip muamalah dalam islam
Suatu aktivitas atau transaksi ekonomi atau non-ekonomi dilarang karena adanya penyebab sesuatu itu dilarang. Penyebab suatu transaksi dilarang adalah karena faktir-faktor sebagai berikut:[14]
a.    Haram zatnya
Haram zatnya berarti zat barang yang ditransaksikan adalah haram. Transaksi atas barang demikian ini dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi transaksi jual-beli minuman keras adalah haram, walaupun akad juak-belinya sah.

b.    Haram selain zatnya
Sesuatu dapat menjadi haram, bukan karena zatnya. Namun sesuatu itu dapat dikategorikan menjadi barang haram jika cara mendapatkan sesuatu yang diharamkan menurut syariah, diantaranya adalah karena caranya melanggar prinsip-prinsip muamalah, misalnya penipua (tadlis), ketidakjelasan (gharar), rekayasa pasar (ikhtikar).

c.    Tidak sah
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram, belum tentu sera merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksinya tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap, misalnya rukun syaratnya tidak terpenuhi.
























BAB III
KESIMPULAN

A.           PENUTUP
1.    Harta
Islam sangat mengajukan kepada manusia untuk bertebaran dimuka bumi ini untuk mencari karunia Allah (rizki) dengan cara bekerja. Harta tidak hanya terbatas pada aspek materi saja tetapi juga mencakup aspek manfaat. Harta dalam tinjauan manfaat ini dapat dipahami bahwa apabila seseorang hanya mengambil manfaat atau kegunaan dari suatu benda. Unsur-unsur yang dimiliki oleh harta, yaitu: Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata, dapat disimpan untuk dimiliki, dapat dimanfaatkan, kebiasaan masyarakat memandangnya sebagai harta.

2.    Akad
Akad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti didalam aqad masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Akad telah disepakati secara rinci dan spesifik tentang waktu dan kondisinya. Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.

3.    Transaksi yang dilarang dalam syariah
Rasulullah secara tegas menyatakan dalam sabdanya, bahwa perdagangan (bisnis, berusaha) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Namun harus dipahami, bahwa praktik-praktik bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran memberikan kategori usaha yang diperbolehkan (halal) dan usaha yang dilarang (haram).


[1] Dede Nurohman, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.50.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Seputar FIlsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 197.
[3] Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm. 110.
[4] Ibid.
[5] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 11.
[6] Ibid., hlm 13.
[7] Ibid., Dede Nurohman, Ekonomi Islam, hlm.58-60.
[8] Ibid., Dede Nurohman, Ekonomi Islam, hlm.53-54.
[9] Lihat al-Qur’an surat al-Nisa’ 29.
[10] Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah 275.
[11] Ibid., Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah,  hlm. 112.
[12] Ibid., Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah , hlm. 114.
[13] Ibid., Muhamad, Manajemen Bank Syariah, Hlm. 118-119.
[14] Adiwarmab A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Rajadwali Press, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar