Minggu, 08 November 2015

INSTRUMEN KEUANGAN SYARI’AH PRIMER, SEKUNDER DAN PENGEMBANGANNYA



INSTRUMEN KEUANGAN SYARI’AH PRIMER, SEKUNDER DAN PENGEMBANGANNYA

A.Kontrak Keuangan Syari’ah
Aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi manapun dapat dilihat sebagai kontrak (akad) antara pelaku-pelaku ekonomi. Instrumen keuangan juga merupakan akad, di mana syarat dan kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut. Konsep, isi dan aplikasi seluruh struktur inti Hukum Ilahi dalam Islam bersifat kontraktual. Sebuah kontrak dianggap legal dan berkekuatan hukum oleh syari’ah jika pasal kontrak tersebut bebas dari semua yang dilarang atau diharamkan.[1]
Sistem ekonomi Islam memiliki serangkaian kontrak inti, yang berfungsi sebagai landasan bagi pendesainan instrumen keuangan yang lebih rumit dan kompleks. Tidak ada klasifikasi kontrak baku dalam sistem hukum Islam, akan tetapi dari sudut pandangan bisnis dan komersial, seseorang dapat mengelompokkan kontrak tertentu sesuai dengan fungsi dan tujuannya dalam ekonomi dan sistem keuangan. Kontrak yang berhubungan dengan transaksi komersial dan bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu :[2]
1.      Kontrak Transaksional
Kontrak transaksional berhubungan dengan sektor transaksi ekonomi riil yang memfasilitasi pertukaran, penjualan, dan perdagangan komoditas dan jasa. Inti kontrak transaksional didasarkan pada aktivitas perdagangan atau pertukaran. Pertukaran dapat berbasis on the spot atau berjangka (deffered) dan dapat berupa pertukaran komoditas dengan komoditas, jual beli barang dengan harga tertentu, atau jual beli dengan utang. Berbagai kontrak ini menciptakan aset, yang bisa menjadi basis peluang pendanaan dan investasi. Karena itu pertukaran ini membentuk inti sistem ekonomi dan keuangan yang lebih luas.
Islam sangat menganjurkan berdagang dan memberikan prioritas kepada aktivitas perdagangan dibandingkan bentuk bisnis lain. Perdagangan yang dimaksud bukan hanya memperdagangkan aset fisik tetapi juga memperdagangkan hak untuk menggunakan aset fisik. Karena itu kontrak dasarnya adalah kontrak pertukaran, penjualan aset atau penjualan hak untuk menggunakan aset. Kontrak pertukaran dan penjualan menimbulkan pengalihan kepemilikan, sedangkan kontrak penggunaan aset hanya mengalihkan hak untuk menggunakan barang dari satu pihak ke pihak lain.[3]
2.      Kontrak Pembiayaan
Kontrak pembiayaan (financing contract) menawarkan jalan untuk menciptakan dan memperluas kredit, memfasilitasi pembiayaan kontrak transaksional, dan memberikan saluran untuk pembentukan kapital dan mobilisasi sumber daya antara investor dan pengusaha. Ciri utama kontrak pembiayaan adalah tidak adanya kontrak utang. Kontrak pembiayaan dimaksudkan untuk pendanaan kontrak transaksional dalam bentuk trade finance (pembiayaan perdagangan) atau asset-backed securities (sekuritas berbasis aset), atau menyediakan modal melalui equity partnership (kemitraan dalam modal) yang dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti kemitraan, penyetaraan kepemilikan atau kemitraan lainnya.
Jika dilihat dari perspektif risiko relatifnya, pada salah satu ujung kontinum risiko sistem tersebut menawarkan sekuritas dengan aset risiko rendah, dan pada ujung kontinum satunya ia akan mempromosikan pembiayaan ekuitas berisiko, seperti modal ventura dan ekuitas privat. Di antara kedua ujung kontinum ini, ada sekuritas yang berasal dari kontrak ijarah dan istishna yang dikaitkan dengan aset riil yang dapat memuaskan kebutuhan investor yang mencari jatuh tempo pendek dan menengah.[4]
3.      Kontrak Intermediasi
Kontrak intermediasi adalah kontrak yang memfasilitasi pelaksanaan kontrak transaksional dan finansial yang efisien dan transparan. Kontrak ini memberikan kepada agen ekonomi seperangkat alat untuk melaksanakan intermediasi keuangan sekaligus menawarkan jasa profesional (fee based) untuk aktifitas ekonomi. Kontrak intermediassi mencakup mudharabah (kontrak dengan perwalian), musyarakah (penyertaan modal), kafalah (penjaminan), amanah (kepercayaan), takaful (asuransi), wakalah (agensi), jo’ala (jasa profesional).
Dalam kontrak mudharabah, agen ekonomi dengan modal (pemilik modal) dapat menjalin kemitraan dengan agen akonomi lain yang memiliki keterampilan dengan perjanjian bagi hasil. Walaupun kerugian ditanggung pemilik modal, mudharib dapat bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tidak pantas atau pengacuhan pada pihaknya.
Kontrak mudharabah dan musyarakah merupakan hal penting dalam penciptaan kredit dan modal, namun kontrak lain seperti wakalah, jo’ala, dan rahn memainkan peran penting dalam memberikan jasa ekonomi penting yang bisa ditawarkan oleh intermediator finansial konvensional.[5]

4.      Kontrak Kesejahteraan Sosial
Kontrak kesejahteraan sosial ialah kontrak antara individu dan masyarakat untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka yang kurang mampu. Walaupun fasilitas kontrak kesejahteraan adalah di luar cakupan intermediasi, namun intermediasi dapat menawarkan layanan masyarakat dengan menginstusionalisasikan kontrak kesejahteraan sosial.


B.  Instrumen Keuangan Syari’ah Primer
Berdasarkan teori akad sebagaimana dijelaskan, dapat diformulasikan kontrak-kontrak keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan.[6]
1.    Mudharabah
            Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Jika usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana. Seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Mudharabah  terdiri dari dua jenis, yaitu Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak terikat) dan Mudharabah Muqayyah (investasi terikat). Mudharabah Muthlaqaah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam mengelola investasinya. Mudharabah Muqayyah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.[7]

2.    Musyarakah
            Musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modalnya untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usah tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.[8]
Pembiayaan Musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi dan hak paten. Laba musyarakah dibagi di antara para mitra dan bank secara proporsional sesuai dengan modal yang disetorkan (baik kas maupun aktiva lainnya) atau sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh semua mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya).
            Musyarakah dapat bersifat musyarakah permanen maupun menurun. Dalam musyawarah permanen, bagi modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Sedangkan musyarakah menurun, bagian modal bank akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.

3.      Murabahah
            Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual maupun pembeli. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
Murabahah berdasarkan pesanannya dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual akan mengurangi nilai akad.
            Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan. Selain itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayarannya yang berbeda.
Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:
a.       Mempercepat pembayaran cicilan atau,
b.      Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
            Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat dalam akad.
            Bank dapat meminta nasabah untuk menyiapkan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Bank dapat meminta urban  kepada nasabah sebagai uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.
            Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah yang mampu yang menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan).[9]

4.      Salam dan Salam Paralel
            Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam alaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembelian sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
            Rukun salam adalah sebagai berikut :[10]
a.       Ada si penjual dan si pembeli
b.      Ada barang dan uang
c.       Ada sighat (lafaz akad)
      Adapun syarat-syarat salam meliputi :[11]
a.       Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad.
b.      Barangnya menjadi utang bagi si penjual.
c.       Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waku yang dijanjikan.
d.      Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan ataupun bilangannya.
e.       Disebutkan tempat menerimanya.
            Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:[12]
a.       Akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir.
b.      Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

5.      Istishna dan Istishna Paralel
            Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani (produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang sudah disepakati. Cara pembayaran dapat dilakukan dengan pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.[13]
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub-kontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna paralel. Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat:[14]
a.       Akad kedua antara bank dan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama dari bank dan pembeli akhir.
b.      Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
           
6.      Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik
            Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il: ajara - ya’juru - ajran”. Ajran semakna dengan kata al-awadh yang mempunyai arti ganti atau upah, dan dapat juga berarti sewa.[15] Dengan kata lain ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik ma’jur (obyek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya.
Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.[16]

7.      Wadiah
            Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan.
Wadiah dibagi atas wadiah yad-mudhamanah dan wadiah yad-amanah. Wadiah yad-mudhamanah adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima penitipan. Sedangkan dalam prinsip wadiah yad-amanah, penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut samai diambil kembali oleh penitip.[17]

8.      Qardh dan Qardh Hasan
            Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan kewajiban peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. Qardh hasan adalah pinjaman tanpa jaminan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati.

9.      Sharf
            Sharf adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa alat pembayaran (nuqud), atau mata uang (suatu valuta dengan valuta lainnya).[18] Transaksi valuta asing pada Bank Syariah (di luar jual beli banknotes) hanya dapat dilakukan dengan tujuan lindung nilai (hedging) dan dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih penjabaran aktiva dan kewajiban valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.

10.  Wakalah
            Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/ nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/ bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa. Akad wakalah tersebut dapat digunakan antara lain dalam pengiriman transfer, penagihan utang baik melalui kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.

11.  Kafalah
Kafalah adalah kemestian seseorang yang diperbolehkan mengelola hartanya sendiri untuk menunaikan suatu hak yang diwajibkan kepada seseorang atau kemestian menghadirkannya ke hadapan hakim (pengadilan). Pengertian kafalah al-khafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan).  Menurut Sayyit Sabiq, yang dimaksud dengan al-khafalah adalah proses penggabungam tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntunan dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjan.[19]
            Kafalah adalah akad pemberian pinjaman yang diberikan oleh kafil (penerima jaminan) dan pinjaman tertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak penerima jaminan.

12.  Hiwalah
            Hiwalah adalah pemindahan pengalihan hak dan kewajiban baik dalam bentuk pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/ pengalihan dana dari satu orang ke orang lain atau satu pihak ke pihak lain.[20]

C. Instrumen Keuangan Syari’ah Sekunder
Instrumen keuangan syari’ah sekunder banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan dalam bentuk pasar modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari instrumen keuangan primer. Ada berbagai macam instrumen pasar modal, menurut Obaidullah instrumen penting yang dapat diperdagangkan sebagai hasil pemikiran menurut hukum Islam, di antaranya adalah sebagai berikut :[21]
1.      Dana Mudharabah (Mudharabah Fund)
Dana Mudharabah merupakan instrumen keuangan bagi investor untuk pembiayaan bersama proyek besar berdasarkan prinsip bagi hasil. Instrumen ini diperbolehkan menurut hukum Islam.
2.      Saham Biasa Perusahaan (Common Stock)
Saham biasa yang diterbitkan oleh perusahaan yang didirikan untuk kegiatan bisnis yang sesuai dengan Islam diperbolehkan.
3.      Obligasi Muqaradah (Profit Sharing Bond)
Obligasi ini diterbitkan untuk pembiayaan proyek yang menghasilkan uang atau proyek yang terpisah dari kegiatan umum perusahaan.


4.      Obligasi Bagi Hasil (Profit Sharing Bond)
Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan yang aktivitas bisnisnya sesuai dengan syariah Islam dan berdasarkan prinsip bagi hasil jenis ini diperbolehkan.
5.      Saham Preferen (Preferred Stock)
Saham ini memiliki hak-hak istimewa seperti deviden tetap dan prioritas dalam likuidasi. Karena ada unsur pendapatan tetap (seperti bunga), maka dilarang menurut hukum Islam.

D. Pengembangan Instrumen Keuangan Syari’ah
Di samping adanya instrumen-instrumen keuangan utama, maka perkembangan ke depan perlu pemikiran lebih jauh adanya instrumen-instrumen keuangan lainnya sebagai bahan kajian dalam hukum Islam, yaitu:[22]
1.  Option
2.  Future contract
3.  Forward Purchased
4.  Interest Rate Cap
5.  Forward Rate Agreement
6.  Repo Rate (Repurchase Agreement)
Berikut ini adalah beberapa sekuritas yang diperbolehkan atau dengan catatan-catatan sebagai berikut :[23]
1.    Saham (Ekuitas atau Shares)
Investasi pada saham sudah seharusnya menjadi preferensi bagi para investor muslim, yaitu untuk menggantikan investasi pada interest yielding bonds atau sertifikat deposito, walupun jika kemudian dinyatakan oleh fikih klasik bahwa ekuiti tidak bisa dipersamakan dengan instrumen keuangan Islami, seperti kontrak mudharabah atau musyarakah. Ekuiti dapat dijual kapan saja pada pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan shahibul mal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib.

2.    Pasar Sekunder Islami
Diperbolehkannya jual beli saham sesuai dengan harga pasar, memungkinkan terjadinya jual beli saham di bursa efek sebagai pasar sekunder. Pasar modal adalah sarana untuk proses alokasi modal. Selain itu, pasar modal juga berfungsi sebagai penilai kontinu terhadap nilai sebuah perusahaan. Dalam literatur keuangan, pasar modal yang efisien harus menyediakan likuiditas dengan biaya transaksi minimum sebagai syarat terbentuknya efisiensi harga. Harga yang seharusnya mencerminkan nilai intrinsik suatu perusahaan. Pasar modal yang rasional adalah terjadinya perilaku rasional dalam harga saham sesuai dengan tingkat deviden dan ekspektasi yang wajar.

3.    Margin Trading
Margin trading adalah aktivitas penjualan kredit. Penjualan saham secara margin, maka para investor diperlukan untuk mempunyai deposit pada broker yang nilainya merupakan persentase tertentu dari saham yang akan dibeli. Selanjutnya broker meminjamkan dulu dananya untuk membeli saham yang diminta.
Bentuk kontrak dalam Islam yang dapat disejajarkan dengan margin trading adalah bai-muajjal atau bai murabahah, yang dibenarkan dalam Islam. Walaupun demikian, ada catatannya bahwa meskipun kontrak ini diperbolehkan. Yaitu penggunaanya secara luas tidak dianjurkan, karena khawatir akan membuka kembali pintu bagi spekulasi atau judi pada jual-beli saham. Disebabkan para spekulan mempunyai peluang untuk mengembangkan operasinya dengan sekadar margin requirement yang rendah.

4.    Islamic Bonds
Islamic bonds (muqaradah bond) diajukan sebagai alternatif pengganti interest-bearing bonds. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan pengesahan dari IOC Academy di Yordan. Islamic bonds dikeluarkan perusahaan dengan tujuan pendanaan proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati. Persentase ini merupakan rasio pembagian keuntungan, sehingga menggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak ini juga menyediakan pembayaran bond pada saat jatuh temponya.

5.    Pasar Sekunder untuk Bonds
Perdagangan obligasi di pasar sekunder mengemuka untuk tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang sampai jatuh tempo. Trading tetap terjadi, namun hanya pada jatuh tempo dengan harga pada par, sama dengan nominal yang tertera pada shahdah al-dayn (sertifikat obligasi). Islamic bonds tidak diperbolehkan dalam Islam karena di dalamnya terdapat jual-beli utang. Hal yang demikian adalah riba. Utang adalah tetap utang, meskipun di dalamnya ditunjang dengan underlying asset-nya.

6.    Derivative dalam Perspektif Syariah
Derivatives merupakan salah satu bentuk rekayasa keuangan dalam mendesain strategi dan solusi inovatif untuk menjamin risiko. Hal yang banyak digunakan di antaranya adalah forward/future dan options. Forward adalah kontrak untuk membeli atau menjual suatu aset di masa depan dengan harga yang ditetapkan untuk disepakati. Sedangkan option adalah hak dan bukan kewajiban untuk membeli atau menjual underlying asset dengan harga dan waktu penyerahan yang disepakati.
Menurut Vogel dan Hayes (1998) mengklasifikasikan instrumen-instrumen derivatif sebagai questionable dalam syari’ah Islam. Belum ada konsensus di kalangan ulama mengenai hal ini. Kebanyakan ulama berpendapat melarang derivatif dengan dasar di dalamnya ada unsur gharar. Sementara yang lain berpendapat bahwa derivatif justru dimanfaatkan untuk menangkal gharar sebagai bentuk manajemen risiko.
Ditemukan atau tidak konsensus mengenai instrumen kauangan derivatif ini, semuanya adalah dirujukan pada kebutuhan manajemen risiko. Yaitu semua itu dilakukan untuk hedging, yaitu menutup risiko dari fluktuasi harga, dan bukan untuk spekulasi ataupun arbritase.

 
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan materi dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen keuangan merupakan kontrak atau akad, di mana syarat dan kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut. Kontrak yang berhubungan dengan transaksi komersial dan bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu kontrak transaksional, kontrak pembiayaan, kontrak intermediasi dan kontrak kesejahteraan sosial.
Berdasarkan teori akad, dapat diformulasikan kontrak-kontrak keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan primer yaitu meliputi mudharabah, musyarakah, murabahah, salam dan salam paralel, istishna dan istishna paralel, ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik, wadiah, qard dan qardhul hasan, sharf, wakalah, kafalah, serta hiwalah.
Selain instrumen primer, terdapat pula instumen sekunder dalam keuangan syari’ah yang banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan dalam bentuk pasar modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari instrumen keuangan primer. Instrumen sekunder meliputi dana mudharabah, saham biasa perusahaan, obligasi muqaradah, obligasi bagi hasil, dan saham preferen.
Di samping adanya instrumen-instrumen keuangan utama, maka perkembangan ke depan perlu pemikiran lebih jauh adanya instrumen-instrumen keuangan lainnya sebagai bahan kajian dalam hukum Islam, yaitu: Option, Future contract, Forward Purchased, Interest Rate Cap, Forward Rate Agreement, dan Repo Rate.


[1] Muhammad, Manajemen Keuangan Syari’ah: Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UUP STIM YKPN, 2014), hal. 229.
[2] Ibid, hal. 229-231.
[3] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 103.
[4] Ibid, hal. 111.
[5] Ibid, hal. 129.
[6] Muhammad, Op. Cit, hal. 231.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9]  Ibid, hal. 232.
[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hal. 295.
[11] Ibid, hal. 295-296.
[12] Muhammad, Op. Cit, hal. 233.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hal. 234.
[15] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 77.
[16] Muhammad, Op. Cit, hal. 234.
[17] Ibid, hal. 235.
[18] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqh Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hal. 23.
[19] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 189.
[20] Muhammad, Op. Cit, hal. 236.
[21] Ibid, hal. 339.
[22] Ibid, hal 340.
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar