Minggu, 08 November 2015

Kebijakan Deviden dalam Manajemen Keuangan Syariah



 Kebijakan Deviden dalam Manajemen Keuangan Syariah

A.    PENGERTIAN DIVIDEN
Kebijakan dividen merupakan persentase laba yang dibayarkan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen tunai, penjagaan stabilitas dividen dari waktu ke waktu, pembagian dividen saham, dan pembelian kembali saham. Rasio pembayaran dividen (dividend pay out ratio), ikut menentukan besarnya jumlah laba yang ditahan perusahaan harus dievaluasi dalam kerangka tujuan pemaksimalan kekayaan para pemegang saham.[1] Dividen adalah pembagian laba dari perusahaan kepada pemegang saham. Bagi perusahaan sendiri, dividen merupakan salah satu bukti bahwa reputasi perusahaan tersebut masih baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dividen dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:[2]
1.      Dividen tunai, laba yang dibagikan berupa uang tunai.
2.      Dividen saham, laba yang dibagikan berupa saham yang menyebabkan bertambahnya jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham.
3.      Dividen properti, pemakaiannya jarang dipergunakan.
       Secara umum perusahaan justru membagikan dividen secara tunai dan dalam bentuk saham. Pembagian dividen dalam bentuk saham merupakan salah satu bentuk variasi saja dari pembagian dividen secara keseluruhan. Pembagian dividen dalam bentuk saham atau yang lebih dikenal dengan nama dividen saham memiliki nilai plus tersendiri, yaitu para pemegang saham memiliki tambahan saham yang itu artinya kepemilikan mereka terhadap perusahaan juga akan bertambah. Namun dengan dividen tunai, porsi kepemilikan pemegang saham terhadap perusahaan masih tetap dan tidak berubah.
       Sedangkan pembagian dividen dalam bentuk saham, investor tidak bisa menikmati uang hasil dividen tersebut, namun dari segi kepemilikan investor memiliki nilai tambah karena kepemilikan terhadap perusahaan berubah yaitu menjadi bertambah banyak. Pembagian dividen bentuk tunai maupun saham, menbagikan dividen atau tidak membagikannya, dalam bentuk apa dividen akan dibagikan, dan bagaimana pembagiannya, semua itu adalah kebijakan perusahaan dan tidak ada yang bisa membatalkannya.

B.     DIVIDEN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Kerjasama dalam bentuk syirkah amwal biasanya dikenal dengan syirkah musahammah. Syirkah musahammah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat. Sehubungan dengan hal ini, al-Mishri menegaskan bahwa pertanggung jawaban pemegang saham sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki. Saham dari segi manfaat non-finansial dibedakan menjadi dua, yaitu:[3]
1.      Saham biasa, saham yang pemiliknya tidak memperoleh hak istimewa, tetapi pemiliknya mempunyai:
a)      Hak dividen, jika perseroan memperoleh keuntungan.
b)      Hak suara, rapat umum pemegang saham (RUPS) sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya (One Man One Vote).
c)      Hak memperoleh sebagian dari kekayaan setelah kewajiban dilunasi dalam hal perseroan dilikuidasi.
2.      Saham preferen, saham yang pemiliknya berhak didahulukan (diistimewakan) untuk mendapatkan dividen atau bagian kekayaan dalam RUPS.
        Syirkah musahamah, bermanfaat untuk pengembangan bisnis karena saham disebar dalam jumlah besar, modal syarik (orang yang ber-syirkah) tidak berubah karena keluarnya pemegang saham lama (dengan cara dijual) atau masuknya pemegang saham baru (dengan cara membeli). Dilakukannya syirkah musahamah untuk menciptakan kesejahteraan umum (bukan hanya kesejahteraan pemegang saham). Al-Mishri menilai bahwa syirkah musahamah adalah salah satu instrumen dari ekonomi liberal. Kalangan ulama’ berbeda pendapat tentang hukum kebolehan Syirkah musahamah.
         Kelompok pertama, tidak memperbolehkan karena terjadi pengalihan dari individu syarik ke dalam jumlah kepemilikan saham dalam hal menentukan arah perusahaan termasuk menentukan pihak pengelola/direksi dan/atau istilah lain yang berlaku di lembaga-lembaga bisnis. Kelompok kedua, memperbolehkan selagi kegiatan usaha yang dijalankan tidak dalam bentuk yang dilarang yaitu;
1)      Obyek yang haram seperti khamr dan babi,
2)      Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan perjudian.
        Hal ini didasarkan pada kaidah fiqh yang menyatakan: al-ashl fi al-ibahah – hukum asal dalam mu’amalah adalah boleh – dan kaidah al-muslimun ‘ala syuruthihim – umat islam terikat dengan akad yang telah disepakatinya. Pelaksanaan Syirkah musahamah harus tunduk pada kriteria (dhawabith) berikut:
a)      Apabila harta yang di-syirkah-kan berupa modal yang dinilai dengan uang secara tunai, maka perpindahan kepemilikan saham dilakukan dengan akad sharf (pertukaran uang).
b)      Apabila harta yang di-syirkah-kan berupa utang, maka hukum yang berlaku adalah hukum utang; yaitu utang tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual karena menjual piutang dilarang oleh syari’ah;
c)      Apabila modal yang di-syirkah-kan berupa barang dagangan atau manfaat, maka tidak ada halangan untuk memindahtangankan dengan cara dijual, dan keuntungannya boleh diterima secara tunai (tidak boleh dengan cara tangguh)
d)     Apabila modal yang di-syirkah-kan berupa barang dagangan, manfaat, uang dan utang yang disatukan, maka yang dijadikan pasar hukum adalah hukum barang dagangan dan manfaat, yaitu boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, dan keuntungannya boleh diterima secara tunai (tidak boleh dengan cara tangguh).
Orang atau badan hukum yang ber-syirkah membentuk persekutuan perdata. Persekutuan perdata setidaknya mmiliki tiga unsur yaitu:[4]
1)      Persetujuan timbal balik sebagai dasar pendirian.
2)      Adanya penyertaan, yaitu masing-masing sekutu diwajibkan menyertakan uang, barang-barang dan lainnya atau keahliannya ke dalam persekutuan. Wujud penyertaan dapat berupa: uang, barang, dan tenaga baik fisik maupun ide/gagasan/pikiran.
3)      Tujuannya adalah membagi keuntungan di antara orang/ pihak yang terlibat.
       Sesuai denagan spirit syirkah, bahwa syirkah termasuk dalam akad mu’awadhat yang tujuannya adalah mencari untung. Dengan demikian, pihak-pihak yang melakukan syirkah berarti melakukan kegiatan bisnis yang bertujuan memperoleh keuntungan. Dividen merupakan bagian dari keuntungan usaha yang dibagikan kepada para pihak yang ber-syirkah, merupakan suatu hal yang dapat dilakukan dan dibolehkan oleh syari’ah. Untung dan rugi atau dapat dividen atau tidak mendapat deviden merupakan konsekuensi ekonomi yang didapat oleh para pihak yang ber-syirkah. Perhatikan Firman Allah yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”.Dengan demikian, pola kebijakan deviden merupakan kebijakan yang memang harus dilakukan pula untuk entitas syari’ah.
C.    MAKNA KEBIJAKAN DIVIDEN
Kebijakan dividen merupakan rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen.  Suatu perusahaan akan tumbuh dan berkembang dan pada waktunya akan memperoleh keuntungan atau laba. Laba disini terdiri dari laba ditahan dan laba yang dibagikan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling penting untuk pembiayaan pertumbuhan perusahaan. Semakin besar pembiayaan perusahaan yang berasal dari laba ditahan ditambah penyusutan aktiva tetap, maka semakin kuat pula posisi financial perusahaan tersebut. Kemudian, seluruh laba yang diperoleh perusahaan sebagian dibagikan kepada pemegang saham berupa dividen. Perusahaan dengan kemampuan tingkat laba yang tinggi dan prospek kedepan yang cerahlah yang mampu membagikan dividen. [5]
Banyak perusahaan yang selalu mengkomunikasikan bahwa perusahaannya  memiliki prospektif dan menghadapi masalah keuangan pasti akan kesulitan untuk membayar dividen. Dengan begitu akan berdampak pada perusahaan yang membagikan dividen, memberikan tanda pada pasar bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek kedepan yang cerah dan mampu untuk mempertahankan tingkat kebijakan dividen yang telah ditetapkan pada periode sebelumnya. Perusahaan yang memiliki prospek kedepan yang cerah, akan memiliki hara saham yang semain tinggi.
Evaluasi pengaruh rasio pembayaran dividen terhadap kekayaan pemegang saham dapat dilakukan dengan melibatkan kebijakan dividen perusahaan sebagai keputusan pendanaanyang melibatkan laba ditahan. Setiap periode, perusahaan harus memutuskan apakah laba yang diperoleh akan ditahan atau diditribusikan sebagian atau seluruhnya pada pemegang saham sebagai dividen. Sepanjang perusahaan memiliki proyek investasi dengan pengembalian melebihi yang diminta, perusahaan akan menggunakan laba untuk mendanai proyek tersebut. Namun, jika terdapat kelebihan dana setelah digunakan untuk mendanai seluruh kesempatan investasi yang diterima, kelebihan itu akan didistribusikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen kas. Jika tidak ada kelebihan, maka dividen tidak akan dibagikan.
Pengumuman dividen merupakan salah satu informasi yang akan direspon oleh pasar. Pengumuman dividen dan pengumuman laba pada periode sebelumnya adalah dua jenis pengumuman yang sering digunakan oleh para manajer untuk menginformasikan prestasi dan prospek perusahaan. Dalam menentukan jumlah kas yang akan dibagikan kepada pemegang saham, manajer keuangan harus ingat bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalkan pemegang saham sehingga rasio pembayaran yang ditargetkan (target payout ratio) yang didefinisikan sebagai persentase dari laba bersih  yang harus dibayarkan sebagai dividen tunai dan sebagian besar harus didasarkan pada preferensi investor atas dividen lawan keuntungan modal.
Preferensi ini dapat dipertimbangkan dalam pengertian model penilaian saham dengan pertumbuhan konstan :
            D1
Po
          Ks - g
Jika perusahaan menaikkanrasio pembagian, D1 akan naik. Kenaikan dalam pembilang ini saja akan mengakibatkan harga saham naik. Namun jika dividen tunai meningkat, makin sedikit dana yang setia untuk direinvestasi, sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan akan rendah untuk masa mendatang dan akan menekan harga saham. Dengan demikian, kebijakan dividen yang optimal dalam perusahaan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan  dimasa mendatang yang memaksimumkan harga saham.

D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DIVIDEN
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan manajer perusahaan terkait dengan penerapan kebijakan dividen. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen yaitu:[6]
1.      Undang-undang
Undang-undang menetapkan bahwa dividen harus dibayar dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada di pos “laba ditahan” dineraca. Peraturan pemerintah menekankan tiga hal diantaranya:
a.       Peraturan laba bersih. Menyatakan bahwa dividen dapat dibayarkan dari laba sat ini atau tahun lalu.
b.      Larangan pengurangan modal, melindungi pemberi kredit karena adanya larangan untuk membayar dividen dengan mengurangi modal (membayar dividen dengan modal akan berarti membagi modal suatu perusahaan bukan membagikan laba)
c.       Peraturan kepailitan, menyatakan bahwa perusahaan tidak dapat membayar dividen pada saat pailit.
Peraturan-peraturan hukum itu sangat besar artinya, karena merupakan kerangka kerja untuk merumuskan kebijakan dividen. Namun didalam batas-batas tertentu, faktor-faktor keuangan dan ekonomi mempunyai pengaruh besar pula terhadap kebijakan dividen.[7]
2.      Posisi likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha. Laba ditahan tahun-tahun lalu sudah diinvestasikan dalam bentuk aktiva (mesin, peralatan, bahan persediaan dll) dan tidak disimpan dalam bentuk kas (uang tunai). Oleh karena itu suatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa sekalipun, mungkin saja tidak dapat membayarkan dividen karena keadaan likuiditasnya. Perusahaan yang sedang tumbuh,  biasanya keuntungannya besar, tetapi biasanya perusahaan tersebut kekuangan dana. Dalam situasi seperti itu, perusahaan akan memutuskan untuk tidak membayarkan dividen dalam bentuk tunai.
3.      Pembatasan dalam perjanjian utang
Perjanjian utang, khususnya utang jangka panjang seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk melindungi kedudukan pemberi pinjaman, biasanya menyatakan bahwa:
a.       Dividen dimasa mendatang hanya dapat dibayar dari laba yang diperoleh sesudah penandatangan perjanjian utang, jadi dividen tidak dapat dibayarkan dari laba ditahan tahun-tahun lalu.
b.      Dividen tidak dapat dibayarkan apabila modal bersih berada dibawah suatu jumlah yang telah ditentukan.
4.      Tingkat ekspansi aktiva
Semakin cepat perusahaan itu berkemabang, semakin besar kebutuhan untuk membiayai ekspansi aktivanya. Bila kebutuhan dana dimasa depan semakin besar perusahaan cederung untuk menahan laba daripada membayarkannya. Apabila perusahaan mencari dana luar, maka sumbernya adalah pemegang saham saat itu yang mengetahui keadaan perusahaan. Tetapi jika laba dibayarkan sebagai dividen dan terkena pajak penghasilan yang tinggi, maka hanya sebagian saja yang tersisa untuk reinvestasi.
5.      Tingkat laba dan stabilitas laba
Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk dividen kepada pemegang saham atau menggunakannya diperusahaan. Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil seringkali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi.
6.      Akses kepasar modal
Suatu perusahaan yang besar dan telah berjalan baik, mempunyai catatan profitabilitas dan stabilitas akan mempunyai akses yang mudah kepasar modal dan mempunyai bentuk lain dari pendanaan. Perusahaan yang sudah mapan akan memberi tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi dibandinngkan dengan perusahaan kecil atau masih baru.
7.      Pajak atas laba yang diakumulasikan secara salah
Untuk mencegah pemegang saham hanya menggunakan perusahaan sebagai suatu “perusahaan penyimpan utang” yang dapat digunakan untuk menghindari tarif penghasilan pribadi yang tinggi, peraturan perpajakan perusahaan menentukan suatu pajak tambahan khusus terhadap penghasilan yang diakumulasikan secara tidak benar.
Adapun kendala yang dihadapi manajemen  dalam pembagian dividen adalah karena adanya hal-hal sebagai berikut:
1)      Kontrak utang, biasanya membatasi pembagian dividen dari laba yang dihasilkan setelah pinjaman diberikan. Kontrak utang seringkali mengisyaratkan bahwa tidak ada dividen yang dapat dibagikan kecuali kalau rasio lancar, rasio kemampuan membayar bunga dan rasio-rasio pengaman lain melebihi batas minimum yang ditetapkan.
2)      Pembatasan saham preferen, biasanya, dividen saham biasa tidak dapat dibayarkan jika perusahaan belum membayarkan dividen untuk saham preferennya. Dividen saham preferen yang tertunggak harus dilunasi sebelum dividen saham biasa dibayarkan.
3)      Ketidakcukupan laba, pembayaran dividen tidak boleh melebihi “aba yang ditahan” pada pos neraca.
4)      Ketersediaan kas, dividen tunai dapat dibagikan hanya dengan uang kas. Jadi, kekurangan kas dibank-bank dapat membatasi pembagian dividen. Akan tetapi, hal itu bisa diatas apabila perusahaan memperoleh pinjaman.
5)      Denda pajak atas penahanan laba yang tidak wajar. Untuk mencegah agar orang kaya tidak menggunakan perusahaan untuk menghindari pajak pribadi, pratura pajak membuat ketentuan khusus mengenai penimbunan penghasilan yang tidak wajar. Jadi, apabila rektorat pajak dapat menunjukkan bahwa rasio pembayaran dividen perusahaan sengaja  dibuat rendah untuk menolong para pemegang saham menghindari pajak pribadi, perusahaan tersebut akan dikenakan denda yang berat.
           
E.     KEPUTUSAN KEBIJAKAN DIVIDEN
Beberapa alasan dalam keputusan kbijakan deviden yang diambil bersama ialah ketidaksamaan informasi, sehingga mempengaruhi tindakan-tindakan manajemen dengan dua cara, yaitu:[8]
a.       Secara umum, manajer tidak ingin menerbitkan saham biasa yang baru, yaitu:
1)      Saham baru melibatkan biaya penerbitan
2)      Manajer lebih menyukai menggunakan laba ditahan sebagai sumber utama ekuitas baru.
b.      Perubahan deviden memberikan isyarat tentang keyakinan manajer dan juga prospek perusahaan di masa depan.

F.     TEORI KEBIJAKAN DIVIDEN
Dalam pemberian deviden terhadap para pemegang saham, manajer perusahaan akan melakukan berdasarkan teori-teori yang diyakini. Adapun teori kebijakan deviden dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Kebijakan Deviden Tanpa Pajak
Kebijakan deviden tanpa pajak hanya bersifat teori dan tidak dapat diaplikasikan dalam dunia nyata saat ini, kebijakan deviden dengan memasukkan unsur pajak, yaitu pajak pribadi dan perusahaan. Asumsi yang digunakan adalah:[9]
a.       Pasar modal yang sempurna dan semua investor adalah rasional, informasi tersedia semua tanpa biaya, termasuk biaya transaksi dan investor besar tidak cukup untuk mempengaruhi harga pasar sekuritas,
b.      Tidak ada biaya pengembangan pada saat pengeluaran sekuritas,
c.       Tidak ada pajak
d.      Penentuan kebijakan investasi perusahaan tidak berubah
e.       Investor saat ini merasa yakin terhadap investasi dan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang
Menurut Muhammad, kebijakan deviden tanpa pajak didasarkan pada Asumsi:[10]
1)      Perusahaan tidak mempunyai utang
2)      Tidak ada pajak
3)      Arus kas koperasi (NOI(t))
4)      Rencana investasi (I(T)) sama.
Maka tingkat pengembalian dalam satu periode, ku untuk saham adalah:
Ku(t+1)=  di(t+1) + pi(t+1) –pi(t)
                                    Pi(t)
Dimana:
ku(t+1) = biaya modal untuk suatu perusahaan unlevered pada periode t
di(t+1) = deviden per saham yang dibayarkan pada akhir periode i
pi(t+1) = harga per saham pada akhir periode t
pi(t)      = harga per saham pada permulaan periode t

2.      Kebijakan Deviden yang Terkena Pajak
Dalam Kebijakan yang terkena pajak, diperkirakan ada tiga jenis tarif pajak:
1)      Tarif pajak proporsional (TC)
2)      Tarif pajak penghasilan pribadi dari obligasi, deviden, dan upah (Tp)
3)      Pajak keuntungan modal (Tg)
Sepanjang (TP>Tg), maka pemegang saham akan lebih menyukai perusahaan yang tidak membayarkan deviden. Mereka akan lebih untung jika dana tetap pada perusahaan atau dibayarkan melalui pembelian kembali saham yang beredar. Dengan demikian mereka membayar pajak atas keuntungan modal, yang lebih rendah daripada pajak penghasilan biasa.
Jika perusahaan membayar semua arus kasnya sebagai deviden, pemegang saham ke-I akan menerima sesudah pajak, Ydi =[11]
                Ydi = [(NOI-RdC) (1-Tc) – rDpi] (1-Tpi)
Dimana:
Ydi            = arus penghasilan sesudah pajak
NOI          = arus operasi perusahaan
R              = suku bunga pinjaman
Dc                 = utang perusahaan
Dpi            = utang pribadi individu
Jika perusahaan tidak membayar deviden, diasumsikan semua keuntungan modal dinikmati oleh penanam modal dan terkena tariff pajak keuntungan modal, maka:
            Ygi = (NOI-rDc) (1-Tc) (1-Tgi) – rDpi (1-Tpi)
Dimana:
Ygi            = tarif pajak keuntungan modal


KESIMPULAN
Dividen adalah pembagian laba dari perusahaan kepada pemegang saham. Bagi perusahaan sendiri, dividen merupakan salah satu bukti bahwa reputasi perusahaan tersebut masih baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Secara umum perusahaan justru membagikan dividen secara tunai dan dalam bentuk saham. Pembagian dividen dalam bentuk saham merupakan salah satu bentuk variasi saja dari pembagian dividen secara keseluruhan.
Sedangkan Syirkah musahammah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat. Sehubungan dengan hal ini, al-Mishri menegaskan bahwa pertanggung jawaban pemegang saham sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki.
Suatu perusahaan akan tumbuh dan berkembang dan pada waktunya akan memperoleh keuntungan atau laba. Laba disini terdiri dari laba ditahan dan laba yang dibagikan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling penting untuk pembiayaan pertumbuhan perusahaan. Semakin besar pembiayaan perusahaan yang berasal dari laba ditahan ditambah penyusutan aktiva tetap, maka semakin kuat pula posisi financial perusahaan tersebut. Kemudian, seluruh laba yang diperoleh perusahaan sebagian dibagikan kepada pemegang saham berupa dividen. Perusahaan dengan kemampuan tingkat laba yang tinggi dan prospek kedepan yang cerahlah yang mampu membagikan dividen


[1] Harmono,Manajemen Keuangan,(Jakarta: PT Bumi Aksara,2011).,hlm.12.
[2] Muhammad, Manajemen Keuangan Syariah,(Yogyakarta: UPP STIM YKPN,2014).,hlm.536.
[3] Ibid.,hlm.537.
[4] Ibid.,hlm.538.
[5] Ibid.,hlm.539.
[6] Ibid.,hlm.541.
[7] J. Fred Weston dan Eugene F. Brigham, Manajemen Keuangan,(Jakarta:Erlangga,1987).,hlm.263.
[8] Muhammad, “Manajemen Keuangan Syari’ah”, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN:November 2014)., hal.543.
[9] Husnan, Suad, “Manajemen Keuangan , Edisi Ke Lima”, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN: 2006)., hal. 87
[10] Muhammad, “Manajemen Keuangan Syari’ah”, (Yogyakarta:UPP STIM YKPN:November 2014)., hal.543

[11] Ibid., hal. 544

2 komentar: