Minggu, 08 November 2015

Perusahaan Dalam Islam



PERUSAHAAN DALAM ISLAM

A.    PERUSAHAAN DALAM ISLAM
Dalam fungsinya sebagai produsen yaitu memproduksi barang-barang yang diperlukan oleh masyarakat dan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, suatu perusahaan pasti  akan mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan pokok yang harus dipecahkan produsen adalah bagaimana komposisi dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan berapakah jumlah yang akan digunakan untuk masing-masing faktor produksi itu.
Ada dua aspek yang perlu diperhatikan untuk memecahkan permasalahan tersebut yaitu:[1]
1.      Komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk menciptakan tingkat produksi yang tinggi,
2.      Komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu.
Setiap perusahaan pasti memiliki tujuan untuk mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaannya dengan cara mengatur penggunaan faktor produksi dengan seefisien mungkin. Teknik efisiensi terletak pada proses produksi barang. Dalam kriteria ekonomi, suatu sistem produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi kriteria berikut:[2]
1.      Meminimalkan biaya untuk memproduksi jumlah barang yang sama
2.      Mengoptimalkan produksi dengan biaya yang sama

B.     PROFIT OPTIMAL
Dalam teori ekonomi konvensional profit maksimal merupakan tujuan dasar suatu perusahaan. Perusahaan yang bertujuan selalu memaksimalkan keuntungan sering disebut dengan perusahaan yang berperilaku rasional. Hal ini menunjukkan apakah perusahaan suatu penentuan harga (persaingan sempurna), sebuah pasar monopoli atau duopoly dan lain-lain. Pasar persaingan sempurna adalah suatu pasar yang ditandai dengan tidak adanya sama sekali persaingan yang bersifat pribadi antara perusahaan-perusahaan individu, dalam pasar persaingan sempurna para individu tidak bisa mempengaruhi harga jual di pasar, dan pasar ini menunjukkan sebuah pasar yang baik.
Para ahli ekonomi memberikan teori bahwa persaingan perusahaan sempurna harus menggunakan teknik efisiensi dalam proses produksi, pada tingkat output dalam produksi akan menjadi titik dimana biaya marginal sama dengan biaya pendapatan. Guna mencapai output yang maksimal maka perusahaan-perusahaan mengimbangi hasil marginal dengan biaya marginal. Kemudian profit adalah perbedaan antara total revenue dan total cost, profit maksimal ditunjukkan dengan MC=MR. Jadi apabila profit ingin dioptimalkan lebih banyak barang yang dihasilkan, misalnya MR lebih besar dari MC. Apabila MC=MR maka perluasan output dengan satu kesatuan tambahan akan menimbulkan kerugian yang disebut super normal, disebabkan karena MC meningkat melampaui MR.
Di dalam pasar monopoli, harga tidak dimunculkan, perusahaan lebih cenderung mendikte harga, suatu perusahaan bisa saja  merubah produknya, perusahaan juga bisa menentukan banyaknya pengeluaran yang diinginkan dalam memproduksi barang. Dalam pasar monopoli ini dimana pengeluaran produksi akan menjadi titik kenaikan suku bunga di dalam MR kurang dari MC. Perbedaannya adalah perusahaan cenderung menetapkan harga sebelumnya.
Seorang monopolis dapat menetapkan harga barang dan menjual barang-barang sebanyak jumlah barang yang akan diserap oleh harga tersebut, atau perusahaan dapat memutuskan untuk menjual sejumlah output dan sejumlah harga yang terbaik yang dapat diperolehnya. Model monopoli menunjukkan adanya persamaan-persamaan dengan model persaingan sempurna. Kedua macam model menyatakan bahwa keputusan-keputusan diambil oleh seorang pengusaha, bahwa sasarannya adalah mencapai keuntungan maksimal dan sasaran tersebut dicapai melalui penerapan analisa marginal.
Dapat juga dikatakan bahwa asumsi adanya pengetahuan sempurna berlaku bagi kedua model, walaupun pengetahuan sempurna timbul pada model monopoli sebagai hasil daripada fakta bahwa keterangan biaya yang relevan timbul karena monopoli itu sendiri, dan berdasarkan fakta juga seorang monopoli dapat membentuk elastisistas kurva permintaan pasar dengan jalan mengubah harganya dan kemudian memperhatikan apa yang terjadi dengan output.[3]

C.    PROFIT NORMAL DAN PROFIT TIDAK NORMAL
Menurut Al-Habshi profit normal diartikan sebagai tingkat keuntungan ketika biaya rata-rata sama dengan pendapatan. Profit normal ini mencakup keuntungan pengusaha dalam faktor produksi. Ketika suatu perusahaan memperoleh profit normal, maka semua faktor produksi mencakup didalamnya proses produksi mendapatkan hak bagiannya sesuai dengn margin yang didapat.
Profit tidak normal, dibagi menjadi dua yaitu profit super normal dan profit subnormal. Profit super normal diperoleh ketika penghasilan rata-rata melebihi biaya rata-rata, dan ketika biaya rata-rata kurang darai biaya rata-rata maka perusahaan dikatakan memperoleh profit subnormal atau rugi. Jadi dalam perusahaan yang menginginkan profit super normal, maka perlu melebihi dari profit normal.
Al-Habshi juga mengkritisi berkenaan dengan profit maksimal, memang nyatanya semua perusahaan pasti mengharapkan profit maksimal, namun Al-Habshi meyatakan bahwa perusahaan tidak hanya bisa berdiri dengan diri mereka. Suatu perusahaan juga memerlukan masyarakat untuk mendukung semua kegiatannya. Jika perusahaan hanya mnegharap profit tanpa memperhatikan masyarakat maka juga akan menimbulkan permasalahan.[4]
Tujuan Perusahaan Menurut Perspektif Islam
Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya menjadi intisari ajaran islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja senantiasa harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Karena kegiatan produksi merupakan respon dari kegiatan konsumsi, maka kegiatan produksi diharpakan menciptakan manfaat (maslahah) bagi masyarakat. [5]
Tanggung jawab manusia sebagai khalifah adalah mengelola yang telah disediakan oleh Allah secara efisien dan optimal agar kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Yang harus dihindari manusia dalam melakukan produksi yaitu berbuat kerusakan di muka bumi. Segala macam kegiatan ekonomi yang diajukan untuk mencari keuntungan tanpa berakibat pada peningkatan utility atau nilai guna tidak disukai dalam islam. Nilai universal lain dalam ekonomi islam tentang produksi adalah adanya perintah untuk mencari sumber-sumber yang halal dan baik bagi produksi dan memproduksi dan memanfaatkan output produksi pada jalan kebaikan dan tidak menzalimi pihak lain.[6]
Produksi perspektif islam tidak hanya berorientasi untuk memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya, meskipun mencari keuntungan juga tidak dilarang. Jadi produsen yang islami tidak dapat sebagai profit optimalizer. Optimalisasi falah juga harus menjadi tujuan produksi, sebagaimana juga konsumsi. Oleh karena itu, secara spesifik Siddiqi mengungkapkan perlunya dalam memperoleh profit maksimal, namun dia juga menyebutkan bahwa perlunya konsep suka sama suka di dalam islam akan mengerahkan pada keadilan masyarakat dan memperhatikan kesejahteraan orang lain harus menjadikan tujuan utama. Lebih rinci dia menyebutkan beberapa tujuan kegiatan produksi, seperti:
1.      Pemenuhaan kebutuhan-kebutuhan sendiri secara wajar
2.      Pemenuhan kebutuhan masyarakat
3.      Persediaan terhadap kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang
4.      Persediaan bagi generasi yang akan datang
5.      Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Demikian juga yang diungkapkan Al-Habshi, bahwa islam tidak menginginkan adanya eksploitasi dalam mencari keuntungan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa islam menganjurkan pada umatnya untuk meraih kebaikan hidup dunia dan akhirat. Inilah yang mendorong umat islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari rizky Allah, terutama dalam hal pandangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia Allah, sebagaimana firman-Nya yaitu:
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. 62:10)
Dan banyak sekali para pelaku ekonomi yang mencintai dunia dengan mencari keuntungan untuk menambah materi, padahal pada dasarnya islam mengajarkan pada umunya untuk proporsional dalam mengejar keuntungan. Dalam islam itu sendiri telah diatur bagaimana tatacara mencari keuntungan tentunya dengan melihat konsep halal dan haram.
Definisi keuntungan yang memuaskan yaitu menaikkan dan menurunkan batas keuntungan. Menaikkan batas keuntungan adalah dengan meninggikan keuntungan jika sesuai dengan keadaan artinya sesuai dengan kode etik di dalam islam. Sedangkan menurunkan batas keuntungan adalah tingkat keuntungan yang mana seharusnya menghasilkan barang produksi untuk kepentingan bersama dan kebaikan hidup masyarakat.
Dari berbagai macam pandangan tentang tujuan perusahaan ini, Al-Habshi menggolongkan itu bukanlah sebagai tujuan perusahaan di dalam perekonomian hanya sekedar tawaran untuk kepentingan maksimum. Ia mengatakan jika sebuah perusahaan tidak memaksa untuk meraih keuntungan maksimum maka dia perkirakan perusahaan-perusahaan itu akan berhenti.[7]

D.    KEBERAGAMAN TUJUAN PERUSAHAAN DAN IMPLIKASI EKONOMI
Al-Habshi melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan akan profit dalam memberikan standar minimum pengusaha, investor dan para pengembang usaha. Kebutuhan profit yang dimaksudkan adalah keuntungan yang wajar dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat umum. Keuntungan wajar juga merupakan profit normal yang mana seharusnya menjaga keseimbangan biaya untuk semua faktor produksi mencakup keinginan para pelaku ekonomi (pengusaha). Dalam menyejahterakan masyarakat, perusahaan seharusnya memproduksi barang yang lebih banyak untuk mengurangi harga.
Dengan berbagai ragam pandangan para pemikir ekonomi tentang tujuan suatu perusahaan, akan sangat memungkinkan munculnya berbagai macam teori. Setelah diteliti tujuan dari perusahaan, Al-Habshi berkomentar sebagai berikut:
1.    Dengan  banyaknya ragam sasaran atau tujuan perusahaan, dan dipaksakan membuat fungsi matematik ajaran Islam, maka hasilnya fungsi berisi tentang keseimbangan antara perolehan moril dan spiritual.
2.    Dari penelitian, perusahaan seharusnya mampu memperoleh kekayaan yang sewajarnya dari pengembangan perusahaan untuk kebaikan umum
3.    Para konsumen di dalam masyarakat Islam cenderung ingin menghasilkan barang lebih banyak dan harganya lebih murah, keuntungan yang berlebihan dalam artian super normal profit.
4.    Dengan cara diproduksinya barang-barang akan diharapkan bisa memenuhi keperluan dasar, ketika kebutuhan dasar itu dipenuhi oleh perusahaan, maka dia termasuk produksi barang-barang untuk kesejahteraan orang lain.
5.    Secara umum kesejahteraan masyarakat tidak hanya dibebankan kepada keadaan, namun harus dicapai dari kerjasama antar pengusaha.
Pada kesimpulannya, Al-Habshi mengatakan bahwa penelitian ini sangat perlu dikembangkan. Dari berbagai pandangan pemikir ekonomi modern dalam menentukan tujaun perusahaan, masih banyak terjadi perbedaan. Namun perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya antara yang satu dan yang lainnya saling melengkapi. Tujuan perusahaan pertama yang harus dicapai adalah keuntungan yang sebesar-besarnya. Islam tidak melarang untuk mencari keuntungan ini selagi masih berada dalam etika Islami. Sedangkan dalam perusahaan konvensional, suatu perusahaan hanya dituntut untuk mencari keuntungan materi yang sebesar-besarnya.

E.     TATA KELOLA PERUSAHAAN DALAM ISLAM
Sehubungan dengan persoalan tata kelola perusahaan, setiap stakeholder memiliki tugas memenuhi kewajiban kontraknya sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kontrak secara langsung atau tidak langsung dan mereka tunduk pada tuntunan syari’ah. Singkatnya prinsip kontrak dalam Islam menetapkan pedoman untuk mengidentifikasi dan memenuhi kualifikasi siapa yang merupakan stakeholder yang sah.
Tata kelola perusahaan secara Islam berdasarkan model berorientasi stakeholder. Dalam model ini menyajikan dua konsep dasar prinsip-prinsip syari’ah, yakni prinsip hak milik dan prinsip kerangka kontrak. Tata kelola setiap perusahaan dalam Islam diatur oleh syari’ah bagi semua stakeholder termasuk pemegang saham, manajemen, dan stakeholder lain seperti karyawan, para pemasok, para pemodal, dan masyarakat.
Dewan syari’ah berperan memberikan nasihat dan mengawasi operasi perusahaan untuk memastikan kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Dewan direksi yang bertindak atas nama pemegang saham, mempunyai tugas memantau dan mengawasi kegiatan bisnis secara keseluruhan. Para pemegang saham memiliki kewajiban menyediakan modal usaha. Para manajer mempunyai tugas mengelola perusahaan sebagai wujud pemberian kepercayaan dari seluruh stakeholder, bukan hanya dari para pemegang saham. Selanjutnya karyawan berkewajiban menjalankan tugas sesuai deskripsi jabatan masing-masing.
Para stakeholder lainnya, seperti nasabah dan pelanggan, memiliki tugas memenuhi semua kewajiban kontrak mereka. Selain itu, negara sebagai salah satu stakholder menjadi lembaga eksternal yang menciptakan kerangka regulasi dan berkewajiban menjamin terlaksananya kontrak dari kasus pelanggaran oleh  pihak manapun. Dengan demikian, definisi stakeholder bukan hanya tertuju kepada para pemegang saham atau kepada mereka  yang berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan, tetapi termasuk juga stakeholder non-investor atau non-pemilik, yaitu pihak yang berpartisipasi langsung atau tidak langsung dalam perusahaan.
Rancang bangun model tata kelola perusahaan dalam Islam memiliki ciri tersendiri yang unik dan menyajikan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan konsep barat model Anglo-Saxon dan model Eropa. Perbedaan ketiga model tersebut dirangkum dan diklasifikasikan ke dalam lima aspek, yaitu filosofi, tujuan perusahaan, sifat manajemen, dewan manajemen, dan struktur kepemilikan yang berkaitan dengan modal.
Model Anglo-Saxon mengutamakan nilai pemegang saham dan model Eropa melindungi semua kepentingan dan hak-hak stakeholeder, sedangkan model syariah bertujuan menempatkan maqasid syari’ah sebagai tujuan akhir. Hal ini mencakup pengertian melindungi kepentingan dan hak-hak semua stakeholder sesuai tuntunan syari’ah. Sifat manajemen model Islam didasarkan pada dua prinsip dasar. Pertama adalah musyawarah dan kedua adalah proses interaktif, terintegrasi, dan evolusi. Tingkat tertinggi manajemen adalah dewan syari’ah yang berwenang untuk mengawasi kegiatan perusahaan secara keseluruhan agar sesuai dengan prinsip syari’ah.
Sifat struktur kepemilikan dalam tata kelola perusahaan Islam menganggap para pemegang saham dan pemilik modal investasi sebagai pemilik yang sah, bukan hanya para pemegang saham sendiri. Ciri atau karakteristik yang nyata pada tata kelola perusahaan Islam adalah mengabungkan unsur tauhid; musyawarah; proses interaktif, integrasi, dan evolusi; aturan syari’ah atau hukum Islam; memelihara tujuan pribadi tanpa mengabaikan kewajiban kesejahteraan sosial.
Jika dibandingkan antara model-model normatif yang dibentuk sebelumnya dengan sumber hukum positif yang berlaku dan contoh penerapannya di Indonesia, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan sistem Eropa kontinental yang disebut two-board system. Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas antara keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan. UU Perseroan Terbatas tampaknya menganut model ini sehingga membedakan tugas dan kewenangan direksi dengan tugas kewenangan komisaris.
Pada lingkup tata kelola perusahaan syariah yang lebih sempit, misalnya dapat dilihat melalui struktur organisasi yang terdapat dalam Bank Umum Syari’ah. Keharusan adanya Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur dan kegiatan perbankan syari’ah sudah diberlakukan secara formal dalam sejumlah hukum positif di Indonesia. Namun, bagi perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, mereka diwajibkan pula melibatkan DPS ini dicantumkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada UU tersebut tercantum satu pasal yang menyinggung tentang Dewan Pengawas Syari’ah, yaitu pada Bagian 2 Dewan Komisaris Pasal 109, yang dinyatakan sebagai berikut.
a.     Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syari’ah.
b.    Dewan Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) teratas seorang ahli syari’ah atau lebih yang diangkat oleh RUPS rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
c.     Dewan Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syari’ah.
Sesuai dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, undang-undang ini mewajibakan perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, selain mempunyai dewan komisaris, juga mempunyai dewan pengawas syari’ah. Tugas DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai denga prinsip syari’ah.


F.     RELEVANSI TUJUAN PERUSAHAAN DAN TATA KELOLA PERUSAHAAN
Kata tata kelola (governance) berasal dari kata latin gubernare yang berarti mengarahkan atau memerintah. Osford English Dictionary mendefinisikan memerintah (govern) sebagai memandu (guede), mengatur (direct), atau mengarahkan masyarakat. Menurut Stoker (1998:17), tata kelola berkenaan dengan timbulnya berbagai gaya yang mengatur ketika batasan-batasan antara sektor publik dan privat menjadi tidak jelas. Definisi ini memberikan makna yang terlalu luas karena dapat mencakup bidang politik, ekonomi, keadilan sosial, dan administrasi publik.
Secara umum, definisitata kelola perusahaan dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dalam arti sempit tata kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu sistem normal akuntabilitas manajemen senior kepada pemegang saham. Kedua, dalam arti luas tata kelola perusahaan mencakup keseluruhan jaringan hubungan formal dan informal yang menyangkut sektor perusahaan dan konsekuensinya bagi masyarakat secara umum.
Konsep tata kelola perusahaan dari perspektif Islam tidak banyak berbeda dengan definisi konvensional karena hal tersebut mengacu pada sebuah sistem, yaitu perusahaan diarahkan dan dikendalikan agar memenuhi tujuan perusahaan dengan melindungi kepentingan dan hak semua stakeholder. Namun demikian, paradigma Islam memperlihatkan perbedaan karakteristik atau ciri-ciri dibandingkan dengan sistem konvensional ketika berkenaan dengan persoalan konsep pengambilan keputusan yang lebih luas dengan menggunakan dasar pemikiran (premis)epistemologi sosial-ilmiah Islam yang didasarkan pada ketauhidan Allah.
Tata kelola perusahaan dalam Islam dan Barat berperan sangat penting dalam rangka memenuhi tujuan tertentu dan tujuan perusahaan. Sebenarnya, Islam sudah lebih jauh menambahkan nilai-nilainya dengan menegaskan unsur maqasid syari’ah yang tidak ditemukan dalam konsep Barat. Fungsi-fungsi tujuan menempatkan maqasid syari’ah sebagai tujuan akhir dari tata kelola Islam. Maqasid syari’ah bermakna perlindungan atau kesejahteraan manusia, yang terletak dalam bentuk perlindungan hak asasi berupa keyakinan agama, hidup, intelektual, keturunan, dan kesejahteraan.
Perusahaan dapat menentukan standar etika yang tinggi dengan menciptakan suatu paham atau tradisi perusahaan, mengembangkan dan melaksanakan kode etik tersebut secara adil dan konsisten; melakukan pelatiah etika; mempekerjakan orang yang tepat; melaksanakan audit etika secara berkala; tidak hanya sebatas aturan-aturan; menetapkan contoh-contoh etika setiap waktu; menciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah dengan melibatkan karyawannya dalam menetapkan standar etika.
Gambaran sejumlah perusahaan publik di Indonesia hanya menempatkan keuntungan sebagai tujuan perusahaan (single bottom line). Keberadaan stakeholder tidak pernah diperhitungkan oleh perusahaan. Kalaupun diperhitungkan peranannya sangat sedikit. Sebenarnya keberadaan stakeholder ini dapat menjadi alat untuk self control yang efektif, misalnya kritik dan saran mereka merupakan sarana yang baik untuk mengevaluasi kelemahan sistem dan struktur perushaan. Ulasan mengenai tujuan perusahaan dalam hal ini diamati dan dikembangkan dari sudut pandang atau konteks tata kelola perusahaan karena terdapat kecenderungan yang menitikberatkan bukan hanya pada kepentingan pemegang saham, namun lebih meluas pada pihak stakeholder dan aspek lain dalam tinjauan syari’ah.
Secara umum diketahui bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimalkan nilai kesejahteraan pemegang saham. Jika demikian, maka hal ini menandakan bahwa perusahaan tersebut, termasuk juga perusahaan Islam yang memiliki tujuan tersebut, dalam praktiknya masih mengadopsi tata kelola perusahaan model Anglo-Saxon. Dalam konteks tata kelola perusahaan Islam, terdapat beberapa studi yang telah dilakukan khususnya pada lembaga keuangan Islam dan ditemukan model tata kelola perusahaan alternatif. Studi tersebut menyatakan bahwa perusahaan Islam dapat mengambil model yang sama sekali berbeda atau membuat versi modifikasi dari model stakeholder-oriente sebagai alternatif kerangka tata kelola perusahaan. Studi yang pertama mengacu pada model tata kelola perusahaan berdasarkan prinsip konsultasi yang menegaskan bahwa semua stakeholder memiliki tujuan yang sama, yaitu tauhid atau keesaan Allah. Studi selanjutnya mengadopsi sistem nilai; stakeholer dengan beberapa modifikasi. Dalam konteks Islam, kepentingan stakeholder bukan hanya seputar return finansial atau memaksimalkan keuntungan tetapi kepentingan tersebut juga meliputi unsur etika, syari’ah, dan prinsip tauhid.
Para stakeholder sebagai khalifah Allah mempunyai tugas untuk menegakkan prinsip keadilan distributif melalui proses permusyawaratan. Chapra (1992:234) menyebutkan bahwa praktik musyawarah bukan merupakan pilihan, tetapi suatu kewajiban. Unsur musyawarah memberikan seluas mungkin partisipasi stakeholder dalam urusan negara, termasuk juga perusahaan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil. Dalam menentukan cakupan syari’ah, lembaga dewan syari’ah masuk ke dalam struktur dan memainkan peran penting untuk memastikan bahwa semua kegiatan perusahaan sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Pemegang saham juga memainkan peran besar sebagai partisipan aktif dan merupakan stakeholder yang sadar dalam proses pengambilan keputusan dan kerangka kebijakan dengan mempertimbangkan kepentingan semua stakeholder yang langsung dan tidak lansung, bukan hanya sekedar memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Stakeholder yang lain termasuk masyarakat juga seharusnya memainkan peran mereka untuk saling bekerja sama melindungi kepentingan secara keseluruhan dan untuk menstimulasi fungsi kesejahteraan sosial. Semua proses ini berpusat pada pemenuhan terhadap tujuan utama tata kelola perusahaan Islam yang melengkapi tujuan pribadi dan tujuan sosial melalui penegakan prinsip keadilan distributif.[8]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fungsi suatu perusahaan pada umumnya yaitu memproduksi barang-barang maupun memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Permasalahan yang biasanya akan dihadapi oleh produsen yaitu komposisi faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah yang akan digunakan untuk faktor-faktor produksi itu. Setiap perusahaan pasti akan berusaha mengoptimalkan keuntungan perusahaannya denga cara yang seefisien mungkin. Sistem produksi dikatakan efisien jika memenuhi kriteria berikut yaitu: meminimalkan biaya untuk memproduksi jumlah barang yang sama, dan mengoptimalkan produksi dengan biaya yang sama.
Dalam ekonomi konvensional profit maksimal merupakan tujuan utama suatu perusahaan. Profit normal yaitu suatu tingkat keuntungan ketika biaya rata-rata sama dengan pendapatan. Profit tidak normal dibagi menjadi dua yaitu profit super normal dan profit subnormal. Profit super normal diperoleh ketika penghasilan rata-rata melebihi biaya rata-rata. Profit subnormal diperoleh ketika penghasilan rata-rata kurang dari biaya rata-rata perusahaan. Menurut perspektif islam kegiatan produksi harus senantiasa berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat.
Keuntungan yang wajar merupakan profit normal yang mana seharusnya menjaga keseimbangan biaya untuk semua faktor produksi mencakup keinginan para pelaku ekonomi. Konsep tata kelola perusahaan syariah berbeda dengan konsep tata kelola barat, perbedaannya yaitu dalam islam menolak rasionalitas dan rasionalisme sebagai filosofi tata kelola perusahaan syariah dan menggantinya dengan tauhid. Konsep tata kelola perusahaan dalam perspektif islam mengacu pada sebuah sistem, yaitu perusahaan diarahkan dan dikendalikan agar memenuhi tujuan perusahaan dengan melindungi kepentingan dan hak stakeholder. Tata kelola perusahaan dalam islam menambahakn nilai dengan menegaskan unsur maqasid syariah yang bermakna perlindungan atas kesejahteraan manusia, yang terletak dalam bentuk perlindungan hak asasi berupa keyakinan agama, hidup, intelektual, keturunan dan kesejahteraan.


[1] Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm.68
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,hlm.69-70
[4] Ibid.,hlm.70
[5] Ibid.,hlm.70
[6] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.103
[7] Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm.70-72
[8] Ibid.,hlm.72-81

1 komentar:

  1. saya serenity autumn, saat ini tinggal di texas city, usa. Saya seorang janda saat ini dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada Mei 2019 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya. saya mencoba mencari pinjaman dari berbagai perusahaan pinjaman baik swasta maupun perusahaan tetapi tidak pernah berhasil, dan sebagian besar bank menolak kredit saya. tetapi seperti yang diinginkan, saya diperkenalkan kepada seorang wanita dewa pemberi pinjaman pinjaman pribadi yang memberi saya pinjaman sebesar 850.000,00 usd dan hari ini saya adalah pemilik bisnis dan anak-anak saya baik-baik saja saat ini, jika Anda harus menghubungi perusahaan mana pun dengan referensi untuk mengamankan pinjaman tanpa agunan, tanpa pemeriksaan kredit, tanpa penandatangan bersama hanya dengan 2 tingkat bunga dan rencana dan jadwal pembayaran yang lebih baik, silakan hubungi mr pedro di email pedroloanss@gmail.com dia tidak tahu bahwa saya melakukan ini tetapi saya Saya sangat bahagia sekarang dan saya memutuskan untuk membiarkan orang tahu lebih banyak tentang dia dan saya juga ingin Tuhan memberkati dia lebih banyak.

    BalasHapus